Bertemu Marie di Aix-En-Provence

Sesampainya di Aix, sopir bus itu menghampiri saya sambil menenteng segelas kopi. “Anda asli mana?” tanyanya. “Indonesia” jawab saya sambil tersenyum.

“Olala, Indonesia! Saya sudah pergi ke sana 7 kali”, ujarnya heboh, matanya melebar sambil mengabsen nama-nama tempat yang pernah ia kunjungi

 "Jogja, Jakarta, Bromo, Bali, Flores, Sulawesi, Borneo. J’adore Indonésie!”

Mendengar pernyataannya, saya terheran-heran melihat sopir bus yang bisa plesir ke pulau-pulau yang bahkan belum pernah saya kunjungi.

Saya tahu kenapa ia bertanya saya asli mana. 1 jam sebelumnya, saya baru tiba di Stasiun Saint Charles, Marseille, setelah menempuh perjalanan 3 jam dari Paris. Perjalanan itu sungguh bikin jiwa udik saya bergejolak. Bayangkan, saya baru melintasi jarak sejauh 660 km atau setara perjalanan bolak-balik Jogja-Surabaya hanya dalam waktu 180 menit. Perjalanan itu ditempuh dengan TGV (Train Grand Vitesse), kereta cepat Prancis yang juga salah satu kereta paling ngebut sedunia.

Sesampainya di Saint Charles, saya masih harus mengambil bus sekali lagi untuk menuju Aix-En-Provence, kota yang selama dua tahun ke depan akan saya tinggali. Beruntung, terminal bus Saint Charles terletak tepat di samping stasiun. Jadi, saya tak perlu risau menyeret-nyeret koper ke luar stasiun.

Saat sudah berada di terminal, saya segera mencari bus nomor 50, bus yang pemberhentian terakhirnya di Gare Routière, terminalnya Aix-En-Provece. Di sanalah saya melakukan satu hal kecil yang saya kira biasa saja, tapi langsung menunjukkan kalau saya betul-betul baru datang di Prancis: saya mengangkat koper raksasa saya ke dalam bus.

“Monsieur”, panggil sang sopir saat saya sudah terlanjur masuk, “barangnya taruh di bagasi ya”.

Aduh, batin saya. Saya pikir semua terminal sama saja sebagaimana di Ngawi atau Kertonyono: bebas menaruh barang asal jangan di kepala orang.

Sopir bus tambun yang mirip Bob Newby di Stranger Things itu kemudian turun dari bus dan membantu saya memasukkan koper ke dalam bagasi. “Merci, Anda baik sekali”, ucap saya, “De rien”, dan ia tersenyum. 

Saya akan menuju Aix-En-Provence, kota kecil yang hanya berjarak 30 km dari Marseille. Jarak segini, bisa ditempuh dengan waktu sekitar 30 menit saja. Perjalanan Marseille-Aix itu saya nikmati dengan melihat kanan-kiri jalan yang akhirnya membuat saya cukup paham kenapa Mas Mada—kakak angkatan saya di FIB yang sudah setahun lebih lama tinggal di Aix—pernah bilang kalau Marseille itu seperti Bronx. Kehidupan keras dan banyak gangster keluyuran. Itu saya lihat dari tiap sudut kota, di apartemen, di rumah susun, di jembatan, di lampu merah, di bahu jalan, bahkan di atas trotoar, vandalisme ada dimana-mana. “Marseille ki kuthone gondes-gondes e, haha”, ujarnya suatu hari.



Sesampainya di Gare Routière, saya seharusnya sudah dijemput ibu kos saya. Kami sudah bertukar pesan lewat sms. Tapi entah kenapa, saat saya sampai di sana, nomor telfonnya tak bisa dihubungi. Beruntung Sopir Bus tadi mengajak saya ngobrol sehingga saya tak seperti bocah kesasar.

“Bagaimana Anda bisa sampai di Aix?”, tanyanya.

“Saya kuliah di AMU (Aix-Marseille Université)”

“Wow, keren. Ambil jurusan apa?”

Master Lettres (Master Sastra). Rencananya saya mau mendalami sastra Prancis, terutama sastra francophone. Itu karya sastra berbahasa Prancis yang ditulis orang Afrika, Maghreb, bahkan ada orang Asia juga. Anda tahu?”

“Ah, enggak. Saya kurang suka sastra. Saya lebih suka jalan-jalan dan kerja”.

“KERJA, KERJA, KERJA !”, saya ingin membalas demikian tapi langsung saya urungkan karena saya tak sedang berada di Jogja dan ia bukan penyetir Sumber Kencono“Oh ya, kata Anda, dulu Anda pernah ke Jogja ya? Dulu saya empat setengah tahun kuliah di sana”.

“Ah, bon??!”, matanya melebar lagi, “Saya suka sekali Jogja! Orangnya ramah-ramah dan saya pernah memborong batik di Malioboro sampai setengah koper!”

“Mau Anda jual?”

“Tidak, buat hadiah natal ke sanak saudara”.

Kami asik ngobrol saat gawai di saku saya tiba-tiba bergetar. Sesuai perkiraan, ini telfon dari Marie Fanciullo, pemilik studio yang selama setahun mendatang akan jadi ibu kos saya.

Halo, halo, Monsieur. Vous êtes où? Anda dimana?”, tanyanya dengan nada tergesa. 

“Halo Madame, saya di depan bus nomer 50”.

“Ah, oui, oui, je te vois, aku melihatmu”.

“Bonjour Monsieur !!!, Ca va??” sapanya dengan senyum lebar dan suara lantang. Benar-benar kelewat lantang untuk orang yang saya kira berumur 65-an. Madame Fanciullo berbadan gempal dan pendek untuk rerata orang Prancis. Rambutnya dipotong cepak seperti Indy Barends dan setengahnya sudah beruban. Siang itu ia mengenakan sweater putih, celana katun coklat, dan kacamata hitam—kontras dengan warna rambutnya. Ia menjemput saya dengan mobil warna violet yang ia setir sendiri. Sebelum pergi dari terminal, saya sempat berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada Sopir Bus  yang ramah tadi.

Jarak dari terminal ke rumah Madame Marie sebenarnya dua kilometer saja. Normalnya, kami bisa segera sampai di sana kurang dari 10 menit. Namun Madame Marie mengajak saya keliling kota terlebih dahulu. “Il faut que tu visualises bien cette ville. Kamu harus mulai menghafal jalan kota ini”.

Selama keliling kota itulah, ia menceritakan kota Aix dengan semangat seperti kanak-kanak. Aix, menurutnya, adalah kota kecil yang indah. Sangat-sangat indah. C’est beau, c’est magnifique, c’est merveilleux ! Kalau tak percaya, mari kita ke centre ville, pusat kota Aix, ajaknya.

Kami pun pergi ke pusat kota dan ia mulai menunjuk kesana-kemari.

Air mancur ini adalah pusat kota Aix. Ia menunjuk air mancur  setinggi kurang lebih 10 meter yang di puncaknya berdiri tiga patung perempuan dan di sekelilingnya dijaga patung singa, lumba-lumba, dan angsa. Aix ini dijuluki “La Ville de Mille Fontaine, Kota Seribu Air Mancur. Coba kamu masuk ke tiap gang di Aix, pasti kamu akan melihat air mancur. Makanya kalau kamu di Aix, jangan sekali-kali bikin janji di samping air mancur, orang pasti akan bingung. Tahu tidak, Jean Cocteau, salah satu penyair terbesar Prancis, pernah mendeskripsikan kota ini dengan sangat puitis. Katanya, “Jika orang buta berdiri di Aix, ia akan mengira matahari dan hujan hadir bersamaan”. Ya begitulah, kota di Prancis selatan. Selalu ensoleillée, bermandi matahari. Nah, khusus di Aix ada bonusnya: gemericik air mancur.


Aix-En-Provence adalah kota yang dihuni air mancur, pohon sycamore, dan bangunan-bangunan abad pertengahan. Bangunan-bangunan tua ini punya kekhasannya sendiri, khususnya jendela kayunya yang tinggi dan warna catnya yang didominasi coklat muda. Rata-rata bangunan ini masih dimanfaatkan dengan baik sampai sekarang. Lantai satu biasanya dijadikan toko atau restoran, sementara lantai di atasnya adalah tempat tinggal. Di sela antar bangunan tua tersebut, membujur lorong-lorong yang ternyata tak pernah sepi turis. Ia menyerupai labirin yang di dalamnya kita bisa menemukan restoran, gereja bergaya barok, museum-museum, hingga Hotel de Ville, rumah walikota yang megah. 


“Tak semua orang bisa tinggal di sini. Sejak dulu, Aix dijuluki le quartier bourgeois, daerahnya orang-orang borjuis. Meskipun kotanya kecil, tapi harga tanah, rumah, dan sewa bangunan di sini adalah yang termahal setelah Paris. Makanya, di sini tak banyak keturunan imigran. Kebanyakan adalah keturunan keluarga yang sudah puluhan atau ratusan tahun menetap”.

Oalah, batin saya. Pantas harga sewa studio di sini jauh lebih mahal dibanding Marseille. Padahal saya kira Marseille adalah Surabaya dan Aix adalah Temanggung. Tapi ternyata tak sesederhana itu.

Dilihat dari leboncoin, salah satu situs lokapasar di Prancis, kebanyakan harga sewa kamar di Aix berada di atas 500 euro per bulan. Itu bukan angka yang sedikit. Di Marseille, kami masih mungkin menyewa kamar kos seharga 300-an, tapi di sini hampir tidak mungkin. Kalaupun ada, kita malah mesti curiga jangan-jangan di dalamnya banyak bercak tahi kampret, atau jangan-jangan air kerannya bau terasi.

Saya sendiri menyewa kamar seharga 450 euro per bulan. Tentu bukan angka yang sedikit. Beruntungnya, mahasiswa asing di Prancis bisa mengajukan subsidi sewa rumah. Melalui prosedur yang disebut CAF (Caisse d’Allocations Familiale), kami bisa mendapat subsidi dari pemerintah Prancis hingga 40 persen.

Aix adalah kota yang memeram sejarah. Selain air mancur dan bangunan-bangunan tua, kota ini juga pernah menjadi saksi persahabatan dua seniman jenius, Paul Cézanne dan Emile Zola. Keduanya adalah tokoh agung di bidangnya masing-masing. Cézanne adalah pelukis yang dianggap sebagai peletak dasar karya seni modern. Sedang Emile Zola adalah sastrawan yang dianggap memacak aliran naturalisme Prancis.

Antara Aix, Cézanne, dan Zola terikat oleh simpul kenangan masa kecil saat keduanya duduk di sekolah yang sama. Tak hanya berteman akrab dan saling mengagumi, keduanya juga menjadikan Aix sebagai inspirasi dalam karya-karyanya. Cézanne kerap melukis Saint Victoire, nama gunung tertinggi di Aix. Sementara Zola menghadirkan Aix sebagai Plassane, kota kecil yang menjadi pembuka sekaligus penutup 20 seri saga Rougond Macquart.

Yang menarik, hari ini kedua tokoh tersebut diperlakukan sangat berbeda oleh kota ini.  Sementara Cézanne adalah simbol, Zola justru nyaris tak pernah hadir di Aix-En-Provence. Memang benar, Zola menjadi nama salah satu gedung di perpustakaan kota dan satu nama sekolah. Tapi itu tak sebanding dengan Cézanne yang namanya terpampang dimana-mana. Patungnya berdiri di pusat kota. Namanya dijadikan nama bioskop terbesar. Karya-karyanya dipajang di Musée Granét, museum yang menjadi salah satu destinasi utama di Aix. 

Di Aix, Cézanne ibarat kitab suci, sedang Zola adalah buku yang ditaruh di pojok rak berdebu. Konon, perlakuan yang berkebalikan ini berkaitan dengan kisah persahabatan mereka yang suatu hari kandas dan hancur lebur sejak Zola menerbitkan novel L'œuvre (1886). Dalam novel tersebut, Zola menghadirkan tokoh Claude Lantier, seorang pelukis obsesif dan banyak lagak namun dengan nasib mengenaskan, yang dipercaya merujuk pada Cézanne. Sejak novel inilah, Zola dan Cézanne tidak pernah lagi bertemu bahkan sekadar berkirim surat. Tapi, terkait cerita ini, saya harus menuliskannya lain waktu di catatan tersendiri. Sebab, saya telah tiba di rumah Madame Marie setelah kurang lebih 30 menit mengelilingi kota

Sesampainya kami di rumah, Madame Marie ternyata sudah menyiapkan makan siang. Ia memasak ravioli dan semacam lalapan tomat yang dilumuri minyak olive lalu ditabur dengan jagung manis dan irisan daun basilisk. Tomat ini, katanya ia tanam di kebun sendiri di samping rumah. Karena sejak pagi belum sarapan, saya pun melahap hidangan tersebut seperti orang sedang kemaruk.

Kebaikan barangkali serupa bunga yang bisa tumbuh di mana saja. Mewujud mawar di tanah tropis, chuparosa di padang Arizona, atau rumput kapuk di daratan Arktik. Ia mungkin hadir dengan bentuk berbeda, namun senantiasa menyirat kebahagiaan.

Entah mengapa, sejak kuliah di Jogja, KKN di Obi, kerja di Subang, hingga kini tinggal di Aix, saya selalu tinggal bersama seorang yang telah menunjukkan kebaikan hatinya sejak pertemuan pertama. 

Di Jogja, saya pernah tinggal di kos (Alm) Bu Rini, seorang Ibu di Sagan yang kepadanya saya boleh nunggak bayar kos sampai 4 bulan.

Di Obi, saya mendapat mama-papa piara sepasang haji yang kerap membagikan rokoknya pada saya. "Mana yang ngoni pilih, Sampoerna merah pu Papa atau Sampoerna menthol pu Mama?"

Di Subang, saya bertemu keluarga Pak Oyang yang menyelamatkan saya dari kontrakan angker yang hampir bikin saya depresi. Tiap pagi, selama 5 bulan, keluarga Pak Oyang selalu menghidangkan teh hangat dan pisang goreng atau onde-onde.

Sedang di Aix, saya bertemu Madame Marie, yang sejujurnya hari ini membuat saya cukup terharu. Sebab, saya tak pernah mengira kalau di negeri sejauh Prancis, saya akan menemukan ibu kos yang rela menjemput saya di stasiun, memandu saya keliling kota dengan berupa-rupa cerita, dan masih pula menyuguh makan siang yang menyehatkan.

Hari pertama yang menyenangkan, Bienvenue à Aix-En-Provence!


Menggunjingkan Asmara Sartre dan Beauvoir di Depan Pusara Mereka

I. Cimetière de Montparnasse

Hamparan makam seluas 18,7 hektar ini adalah tempat persemayaman terakhir sejumlah tokoh besar Prancis. Di sini tertidur dengan tenang sastrawan Jean Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Charles Baudelaire, Guy de Maupassant, Marie Duras, Simone Beckett, hingga Julio Cortazar. Juga para dedengkot di berbagai bidang lain macam Pierre Larousse (penyusun kamus dan ensiklopedia besar Prancis Abad 19), Serge Gainsbourg (musisi legendaris Prancis), Henri Langlois (pionir industri perfilman Prancis), Emile Durkheim (salah satu pencetus teori sosiologi modern), hingga Jean Baudrillard (filsuf hiperrealitas dan simulakra).

Tempat tersebut adalah Cimetière de Montparnasse.

Saya mengenal pemakaman ini sejak 5 tahun lalu. Waktu itu, saya mendapat tugas kuliah untuk membuat presentasi tentang salah satu destinasi wisata di Prancis. Barangkali karena tak ingin mempresentasikan destinasi yang sudah mainstream, saya pun memilih salah satu destinasi wisata alternatifplesir di kuburan.

Kalau dibandingkan dengan Indonesia, wisata ziarah sebenarnya juga bukan hal baru. Khusnul Bayu, teman saya yang kini jadi akademisi pariwisata, pernah bilang bahwa salah satu bisnis tour and travel terbesar adalah bisnis ziarah makam Wali Songo. Fakta itu pernah bikin kami bercita-cita punya bisnis wisata religius meski akhirnya gagal total karena klien pertama kami mengalami tragedi ban bus mbledos saat perjalanan ke Magelang.

Tetapi meskipun bukan hal baruwisata ziarah di Prancis punya kekhasannya tersendiri. Misalnya, disini orang lebih lumrah nyekar ke makam para sastrawan dibanding tokoh agama. Hal ini saya lihat secara langsung ketika 31 Agustus 2019 lalu, saya berkesempatan ziarah ke Cimetière de Montparnasse.

Ditemani Hasbi, Idham (mahasiswa Master Discours di Universite Paris 13), dan Mbak Anggi (sekretaris KWRI UNESCO Paris), kami datang di siang bolong dengan perasaan penuh bungah. Tak ada hawa duka atau muram. Barangkali saya kelewat senang karena akhirnya bisa mewujudkan tugas perkuliahan jadi nyata. Tapi yang jelas, pemakaman ini memang tidak menimbulkan hawa angker sama sekali. Pepohonan berjajar rapi meneduhkan jalan. Nisan-nisan dipahat dengan indah dan tak ada yang berlumut. Sepanjang trotoar, bangku-bangku taman dipasang rapi. Di salah satu bangku yang kami lewati, sepasang kekasih duduk berpangkuan dan berciuman dengan lembut. Romantis dan mesra. Tapi seandainya adegan ini terjadi di Indonesia, barangkali pasangan itu akan kena azab. Mungkin tewas jadi tumbal seperti pasangan mesum di Desa Penari. Mungkin ketempelan pocong atau kuntilanak. Atau minimal, alat genital mereka bakal menyonyor.

II. Sartre dan Beauvoir
  
Di Cimetière de Montparnasse, makam yang paling ramai dikunjungi adalah makam salah satu pasangan kekasih paling dikenang sepanjang masa. Mereka adalah Jean Paul Sartre dan Simone di Beauvoir, sepasang filsuf yang dikuburkan di bawah nisan yang sama. Makam ini pula yang menjadi tujuan utama kami. Terutama Bu Anggi yang memang senang membaca karya-karya mereka.

Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Simone de Beauvoir (1908-1986) adalah filsuf maha kondang pada pertengahan abad 20. Sartre dikenal sebagai seorang penggagas gerakan filosofis yang disebut eksistensialisme. Ia juga termasuk golongan intelektual kiri yang paling dihormati di zamannya. Sepanjang hidupnya, ia tak segan mengambil sikap atas berbagai peristiwa politik. Mulai dari menentang kolonialisme Prancis di Aljazair, menuntut penyelidikan kejahatan perang di Vietnam, bahkan turut serta dalam demonstrasi Revolusi Mahasiswa 1968 di Paris. Sementara itu, Simone de Beauvoir dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan feminisme paling penting di dunia. Terutama setelah ia menerbitkan buku Le Deuxième Sexe (The Second Sex), sebuah studi besar tentang gender yang telah menginspirasi berbagai gerakan pembebasan perempuan.

Dua sejoli ini bertemu tahun 1929 saat keduanya masih menjadi mahasiswa filsafat di Universitas Sorbonne. Saat itu, Sartre adalah mahasiswa peringkat satu dalam Agrégation de Philosophie, ujian tesis filsafat di Sorbonne. Sementara Beauvoir meraih peringkat dua. Pertemuan mereka di kampus inilah yang nantinya akan membawa mereka pada sebuah hubungan cinta yang menjadi cerita besarSartre dan Beauvoir saling mencintai, memutuskan hidup bersama, berjanji tak pernah saling bohong, namun sama sekali tak pernah menikah. Sebab, mereka percaya bahwa cinta tak butuh lembaga pernikahan yang sebenarnya hanya tradisi kaum borjuis.

Sampai hari ini, Sartre dan Beauvoir kerap dianggap sebagai lambang kekuatan cinta. Terutama bagi mereka yang percaya bahwa cinta tak membutuhkan ijab kabulJika kita berkunjung ke Cimetière de Montparnasse, kita bisa melihat besarnya rasa kagum itu di atas nisan mereka, di mana ratusan bekas kecup bibir tersemat dengan berbagai warna dan warni.

Mafhum bila mereka punya banyak pemuja. Lagipula, adakah yang lebih kudus daripada terus di samping kekasih, bahkan setelah mati?

III. Nelson Algren

Saat sedang berada di depan makam dua filsuf ini, ingatan saya tiba-tiba terlempar pada salah seorang teman dekat yang suatu hari pernah berseloroh di depan pacarnya bahwa ia tak ingin menikah.

Mending cohabitation alias kumpul kebo. Ujarnya.

Sang pacar kemudian menanggapi cowoknya itu dengan raut kecut. Bilang aja males tanggung jawab.

Menariknya, tak butuh dua tarikan nafas bagi teman saya untuk kemudian melakukan serangan balik yang telak. Sartre dan Beauvoir nggak nikah juga, tapi saling tanggung jawab”.

Obrolan tersebut lalu saya ceritakan pada teman-teman dan secara tak terduga mendapat tanggapan menggelikan dari Bu Anggi.

Lo, siapa bilang saling tanggung jawab? Sartre dan Beauvoir punya banyak pacar lo”.

Sejenak kemudian, Bu Anggi mengeluarkan dua buah buku yang sengaja ia bawa dari rumah. Masing-masing berjudul Lettres à Sartre dan Lettres à Nelson Algren. Keduanya adalah kumpulan surat yang ditulis Simone de Beauvoir namun ditujukan untuk dua orang berbeda. Nama pertama tentu sudah tak asing lagi. Tapi, siapakah nama kedua? Siapakah Nelson Algren?

Kebanyakan dari kita mungkin tidak tahu bahwa Simone de Beauvoir pernah menjalin hubungan asmara dengan Nelson Algren, sastrawan Amerika yang sangat masyhur pada periode 1950-an. Karya-karyanya banyak membahas tentang keadaan orang-orang marjinal di Chicago, dengan nuansa cerita yang kerapkali muram.

Beauvoir dan Algren bertemu di Leetle Café, Chicago, pada suatu malam di tahun 1947. Saat itu Beauvoir tengah mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk memberi serangkaian kuliah umum. Di antara jeda mengajar itulah Beauvoir menelfon Algren dan mengajaknya bertemu.

Pertemuan pertama mereka dimulai dengan kecanggungan. Sebab, keduanya mengalami kendala komunikasi. Algren hanya sedikit paham Bahasa Prancis, sementara Beauvoir juga tak pandai berbahasa Inggris. Mereka bercakap dengan bahasa campur-campur, di sebuah lounge yang sepi, di mana keduanya hanya memahami setengah dari apa yang dikatakan lawan bicaranya.

Namun pesona Algren yang penuh kejutan lah yang membuat Beauvoir kemudian jatuh hatiBermula dari percakapan yang kaku, Algren lalu mengajak Beauvoir ke luar kafe, berjalan kaki menyusuri tepian Sungai Chicago, lalu memasuki gang-gang sempit nan kotor. Di sana, mereka melihat pengemis-pengemis yang mendengkur di tepi jalan, juga para gelandangan yang menjual apapun demi sekeping uang. Termasuk salah seorang yang menawarkan sebatang pensil pada Algren.

Bagi Beauvoir yang terlahir di lingkungan borjuis dan senantiasa hidup serba kecukupan—termasuk saat menjadi mahasiswi Sorbonne—, pengalaman menyusuri sela-sela gedung Chicago ini tentu menjadi momentum tak terlupakan. Barangkali petualangan macam inilah yang tak ia temukan pada sosok Sartre.

Algren dan Beauvoir lalu masuk ke sebuah bar kecil, menenggak bir, mendengarkan jazz yang dimainkan musisi-musisi kulit hitam, lalu bertukar cerita dengan lebih lepas. Saat itu, Algren mengatakan bahwa ia adalah satu-satunya penulis Amerika yang serius setelah mangkatnya Richard Wright. Ia juga bercerita bahwa semua orang yang ada di bar itu kejam dan hobi kisruh. Tapi segera Beauvoir menggoda Algren dengan mengatakan bahwa Algren adalah satu-satunya orang yang berbahaya baginya.

Malam itu, mereka pulang dalam keadaan setengah mabuk. Saat waktu menunjuk pukul dua dan udara Chicago semakin dingin, Algren dan Beauvoir memilih menghabiskan sisa pagi untuk bercinta di atas ranjang reot di dalam apartemen Algren.

Kisah cinta Beauvoir dan Algren sebenarnya tak kalah menarik dibanding Beauvoir dan Sartre. Kata Bu Anggi, kalau Sartre adalah kekasih intelektual, Algren adalah kekasih bucin-nya Beauvoir.

Pernyataan Bu Anggi tentu cukup beralasan. Terlebih jika kita membaca surat tertanggal 19 Juli 1948 di mana Beauvoir menulis untuk Algren:

Vous devez comprendre, Nelson, je dois être sûre que vous comprenez bien la vérité : je serais heureuse de passer jours et nuits avec vous jusqu’à ma mort, à Chicago, à Paris ou à Chichicastenango, il est impossible de ressentir plus d’amour que je n’en ressens pour vous, amour du corps, du cœur et de l’âme. Mais je préférerais mourir plutôt que de causer un mal profond, un tort irréparable à quelqu’un qui a tout fait pour mon bonheur. 
Kau harus tahu, Nelson, aku yakin kau benar-benar paham kenyataan ini: bahwa aku akan sangat bahagia menghabiskan siang dan malam bersamamu sampai mati. Di Chicago, Paris, atau Chichicastenango. Tak mungkin aku bisa merasakan lagi cinta yang sama seperti cinta yang kurasakan padamu, kekasih tubuh, jiwa, dan ragaku. Tapi, aku lebih baik mati daripada melukai dan menimbulkan sakit tak terobati untuk seorang yang mau melakukan apapun demi kebahagiaanku.

Hubungan Beauvoir, Sartre, dan Algren adalah hubungan yang rumit. Di satu sisi, Beauvoir begitu mencintai Algren dan bahkan kerap bercerita padanya tentang sisi buruk Sartre. Termasuk perihal buruknya Sartre di atas ranjang—hal yang juga diakui Sartre dengan ungkapan «je faisais l’amour souvent, mais sans un très grand plaisir» dan « J’étais plutôt un masturbateur de femmes qu’un coïteur. ». Aku sering sekali bercinta, tapi tanpa gairah yang besar-besar amat. Dan aku lebih sering memasturbasi perempuan daripada mempenetrasinya”.

Namun di sisi lain, Beauvoir tetap menolak pinangan Algren untuk menjalani hubungan tradisional—menikah dan berkomitmen pada satu pasangan. Pada akhirnya, Beauvoir lebih memilih Sartre dan enggan berkhianat meskipun dalam surat yang sama, Beauvoir juga menulis “je ne l’aimais plus d’amour”“Cintaku pada Sartre sudah tak ada lagi”.

Yang kemudian jadi pertanyaan, bagaimana Sartre menyikapi hubungan ganjil tersebut?

Jawabannya: Sartre mah sebenarnya biasa-biasa aja.

Mengapa? Sebab…

IV. Bianca Lamblin

Sedari mula, akar dari segala hubungan yang rumit ini adalah ‘aturan main yang ditawarkan Sartre kepada Beauvoir.

1 Oktober 1929 saat Sartre menyatakan cinta di Jardin de Luxembourg, Sartre mengusulkan perjanjian cinta yang disebutnya “cinta esensial”. «Sans institution, sans mariage, dans une liberté mutuelle et dans le souci de translucidité ». Sebuah hubungan yang bebas institusi, tanpa pernikahan, dalam kebebasan yang setara, tanpa ada yang ditutup-tutupi”.

Lebih jauh lagimereka boleh punya selingkuhan, tetapi harus berterus terang dan menceritakan dengan detil setiap tindak dalam hubungannya. Perjanjian inilah yang di kemudian hari menyeret banyak sekali nama yang terlibat dalam hubungan Sartre dan Beauvoir.

Tak cuma Nelson Algren, Beauvoir juga pernah menjalin hubungan dengan Claude Lanzmann, Fernando Gerassi, Arthur Koestler, René Maheu, dan Olga Kosakiewicz. Sementara Sartre justru lebih banyak lagi. Ia pernah berselingkuh dengan Wanda Kosakiewicz, Martine Bourdin, Dolorès Vanetti, Arlette Elkaïm, Michelle Vian, Évelyne Rey, Liliane Siegel, hingga Lena Zonina.

Selain nama-nama di atas, tercatat pula nama Bianca Lamblin yang saya kira merupakan orang ketiga paling kontroversial dalam hubungan mereka. Sebab, Lamblin adalah pasangan lesbian Beauvoir—ya, Beauvoir adalah seorang biseksual—sekaligus kekasih Sartre. Kisah mereka diceritakan dalam catatan yang ditulis Lamblin berjudul Mémoires d’une jeune fille dérangée (The Disgraceful Affair).

Dalam catatan tersebut, gadis keturunan Yahudi ini menceritakan relasi asmaranya dengan Sartre dan Beauvoir sejak ia masih berumur 16 dan menjadi siswi di Lycée Molière, Paris. Kala itu, Lamblin adalah murid Beauvoir di kelas filsafat. Ia begitu mengagumi Beauvoir sebagai perempuan yang brilian. Ia terutama terpesona pada cara Beauvoir mengubah sudut pandangnya tentang perempuan sebagai manusia yang juga bisa mandiri, cerdas, dan berani melawan. Lamblin bahkan mendeskripsikan Beauvoir dengan penuh kekaguman. «L’intelligence de son regard d’un bleu lumineux nous frappa dès le début », “Kecerdasan yang memancar dari mata birunya seperti menghujam sejak awal bertemu”.

Rasa kagum itu kemudian ia layangkan melalui sepucuk surat yang tanpa sangka mendapat balas. Sejak itu, mereka sering bertemu entah di kafe, taman, kantor, atau hotel, hingga akhirnya menjalin hubungan asmara. Hubungan ini terus berlanjut hingga Lamblin menjadi mahasiswi filsafat di Sorbonne di mana Beauvoir memperkenalkan Lamblin pada Sartre dan menyarankan Lamblin melakukan bimbingan dengannya.

Kesempatan inilah yang digunakan Sartre untuk merayu Lamblin dengan rentetan surat cinta yang akhirnya membuat Lamblin luluh. 

Sartre, Beauvoir, dan Lamblin menjalin cinta segitiga dengan saling terbuka sampai tahun 1940. Hubungan ini berakhir saat Beauvoir mulai merasa cemburu dan membuat kedua filsuf ini memutuskan Lamblin lewat sepucuk surat. Sepucuk surat tersebut tak hanya membuat Lamblin hancur. Ia juga mengalami depresi berat. Ia merasakan betul apa yang disebut habis manis sepah dibuang. Terlebih satu tahun sesudahnya, Lamblin dan keluarganya menjadi incaran Gestapo. Saat Lamblin meminta pertolongan pada Beauvoir dan Sartre untuk melindunginya, Lamblin bahkan tak mendapat jawaban apapun selain perasaan terhinakan. Di kemudian hari, perlakuan Sartre dan Beauvoir kepada Lamblin membuat banyak orang berpikir bahwa kedua filsuf ini cukup durjana dan mengerikan.

Sartre dan Beauvoir adalah cerita cinta ganjil yang tak ada habisnya. Namun, terlepas dari sudut pandang benar-salah atau indah-buruk hubungan mereka, yang jelas mereka telah membuktikan tiga hal. Pertama, mereka bisa memegang janji yang sejak awal telah disepakati. Kedua, mereka telah menjadi pasangan intelektual yang banyak mengubah dunia. Ketiga, hingga detik ini mereka masih bersama dan tak bakal lagi ada orang ketiga di liang lahat mereka. 

Yang jadi pikiran saya, justru teman saya yang sangat mengidolai Sartre dan Beauvoir. Sebab, saya ingat satu hal. Bahwa suatu hari, sebelum menjalin hubungan dengan kekasihnya yang sekarang, teman saya pernah menjadi korban perselingkuhan. Dan alih-alih bisa bertahan atau tumbuh bersama menjadi filsuf kondang, teman saya justru tercatat sebagai pasien langganan di klinik psikiatri.