MURAMBI SEBAGAI REFLEKSI DARI GENOSIDA 1994 KE GENOSIDA 1965

Genosida Rwanda


Nyaris satu juta orang terbunuh hanya dalam waktu kurang dari 100 hari, dan setelah itu, dunia menyederhanakan tragedi tersebut sebagai imbas dari konflik antar etnis: Tutsi versus Hutu. Kenyataannya, genosida Rwanda tidak sesederhana itu. Ia tak bisa serta merta dipahami sebagai hasil dari kebencian antar dua kelompok manusia dengan dua identitas berbeda. Lebih dari itu, genosida Rwanda adalah buah dari kebencian antar manusia yang dibentuk dan dipupuk oleh kolonialisme, lalu diparipurnakan oleh fenomena neokolonialisme yang disebut Francafrique. Namun sebelum lebih jauh membahas hal tersebut, kita harus memahami terlebih dahulu sejarah singkat genosida Rwanda, tragedi yang menjadi latar novel Murambi, Buku tentang Tulang-Belulang karya Boubacar Boris Diop.[1]


        Sebelum kedatangan kolonialisme Jerman pada tahun 1894, Rwanda sama sekali tidak mengenal sistem perbedaan etnis. Kala itu, Rwanda adalah negeri damai yang dipimpin seorang raja bernama 
Mwami dan dihuni orang-orang dengan ciri fisik, bahasa, agama, dan budaya yang sama.[2] Meski demikian, Rwanda mengenal sistem pembedaan sosial yang didasarkan pada mata pencaharian. Dalam budaya Ikinyarwanda, orang-orang yang bekerja sebagai petani disebut Hutu, sementara mereka yang bekerja sebagai peternak disebut Tutsi.[3] Pembedaan kelompok sosial ini bersifat cair. Artinya, orang Hutu yang mau belajar menggembala bisa saja menjadi Tutsi, dan orang Tutsi yang tlaten mengolah tanah bisa pula menjadi Hutu.[4]


Konsep kelompok sosial tersebut kemudian bergeser sejak pemerintah kolonial Jerman menganggap perbedaan Hutu-Tutsi sebagai perbedaan etnis. Hal ini pada mulanya terjadi karena Jerman tidak mengenal sistem pembagian kelompok sosial yang didasarkan pada model kerja. Akan tetapi, pembedaan ini kemudian dimanfaatkan Jerman untuk mulai memecah belah kedua kelompok. Seperti bangsa penjajah lainnya, Jerman mulai menerapkan divide et impera dengan hanya memberikan jabatan-jabatan penting pada orang Tutsi yang merupakan kelompok minoritas. Sementara orang Hutu yang merupakan kelompok mayoritas terpaksa hanya bisa gigit jari. [5]


Gesekan ini semakin meruncing tatkala kekuasaan kolonial bergeser ke tangan Belgia. Sejak 1931, Belgia mulai menyematkan nama etnis di kartu identitas penduduk Rwanda.[6] Konsep Hutu-Tutsi menjadi bentuk identitas yang semakin kaku bahkan dianggap bentuk pertalian darah yang mustahil berubah. Bukan hanya itu, mereka juga memproduksi mitos tentang perbedaan fisik Tutsi dan Hutu dengan mengatakan jika orang Tutsi memiliki kulit lebih terang, hidung lebih mancung, dan rupa lebih rupawan. Rasisme ini akhirnya merembet ke berbagai kebijakan lain yang semakin diskriminatif, seperti misalnya larangan terhadap orang-orang Hutu untuk mengakses pendidikan apalagi kekuasaan.[7]


Diskriminasi ini menjadi bom waktu ketika Rwanda merdeka pada 1962. Orang Hutu yang merasa digencet dan diperkuda selama era kolonial kemudian merasa berhak membalaskan dendamnya pada orang Tutsi. Pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi. Puluhan ribu orang Tutsi tewas dibelasah golok, sementara ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke negara-negara sekitar Rwanda: Burundi, Zaire, Tanzania, Uganda. Kekerasan ini turut didukung oleh posisi politik orang Hutu yang sejak merdeka telah sepenuhnya merebut kekuasaan. Pada pemilu pertama Rwanda, Parmehutu, partai supremasi Hutu, meraup lebih dari 70 persen suara. Hasil inilah yang mendudukkan sosok rasis seperti Grégoire Kayibanda menjadi presiden yang merestui setiap kekerasan terhadap orang Tutsi.[8]


Harapan akan meredanya konflik ini sempat tumbuh di awal tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan menguatnya FPR (Front Patriotik Rwanda), kelompok tentara pemberontak yang dibentuk oleh anak-anak keturunan imigran Tutsi di luar Rwanda. Melalui strategi gerilya, FPR bukan hanya sukses merepotkan,  tetapi juga menggoncang stabilitas pemerintah Juvénal Habyarimanapresiden otoriter yang menggantikan kekuasaan Grégoire Kayibanda sejak 1973. Situasi inilah yang memaksa Habyarimana menandatangani Perjanjian Arusha pada tahun 1993 yang setidaknya memiliki dua poin penting. Pertama, gencatan senjata antara pemerintah dengan FPR. Kedua, rencana rekonsiliasi Hutu-Tusi yang ditandai dengan pembentukan pemerintahan yang terdiri dari kedua unsur kelompok tersebut.[9]


Sayangnya situasi reda ini tak berlangsung lama. Saat Perjanjian Arusha mulai berjalan, sebuah tragedi menggemparkan terjadi pada 6 April 1994. Hari itu, pesawat yang ditumpangi Presiden Juvénal Habyarimana tiba-tiba hancur tertembak rudal. Habyarimana tewas bersama Cyprian Ntaramira, presiden Burundi, yang saat itu juga berada dalam pesawat. Hingga hari ini, tak ada yang tahu siapa sosok atau kelompok di balik serangan tersebut. Namun yang jelas, kematian Habyarimana inilah yang dijadikan alibi oleh Interahamwekelompok paramiliter Hutu garis kerasuntuk mulai membunuh siapapun yang mereka sebut Inyenzijulukan untuk orang Tutsi yang berarti kecoak.


Maka dalam tempo kurang dari 100 hari, Rwanda menjadi tempat yang lebih mengerikan daripada neraka. Satu per satu orang dipenggal. Anak-anak dimutilasi. Perempuan-perempuan diperkosa sebelum disembelih. Kematian terjadi kapan saja dan tak peduli tempat: di rumah, di sekolah, di gereja. Rwanda menjadi tempat kubangan darah dengan mayat-mayat Tutsi yang menutup jalan-jalan dan menyumbat sungai-sungai. 


Sejarah inilah yang menjadi latar dari novel Murambi, Buku tentang Tulang-Belulang karya Boubacar Boris Diopsastrawan Senegal kelahiran 26 Oktober 1946Boris Diop sendiri adalah penulis yang dikenal selalu mencampurkan elemen fiksi dan sejarah dalam karya-karyanya.[10] Sebagai sosok yang tumbuh di lingkungan progresif selama kuliah, ia tak segan mendaku diri sebagai Pan-Afrikanis, Maois, sekaligus sastrawan engagé.[11] Novel Murambi, Buku tentang Tulang-Belulang adalah hasil dari risetnya pada tahun 1998 ketika mengikuti proyek residensi di RwandaBerkat pengalaman tinggal di sana selama beberapa bulan, ia menyadari untuk pertama kali bahwa genosida Rwanda tidaksesederhana konflik antar etnis seperti yang dipahami banyak orang, melainkan tragedi yang lahir dari silang sengkarut politik internasional sejak era kolonial hingga pascakolonial.[12] Perspektif poskolonial inilah yang kemudian coba ia tuangkan dalam novel ini.[13]

 

Narasi Polifoni, Trauma, dan Françafrique

 

Dalam Murambi, Buku tentang Tulang-Belulang, Boris Diop menceritakan genosida Rwanda melalui banyak sudut pandang, terutama dari sisi korban, pelaku, gerilyawan FPR, militer Prancis, hingga seorang keturunan pelaku yang terus dihantui rasa berdosa meski sebenarnya tak terlibat apa-apa. Ia menggunakan apa yang Mikhaïl Bakhtin sebut sebagai narasi polifoni, yaitu bentuk penceritaan karya sastra yang mempekerjakan banyak narator untuk menceritakan kompleksitas suatu fenomena. Dalam novel polifoni, tokoh-tokoh dalam novel saling mengutarakan perspektifnya tentang suatu peristiwa sehingga terbentuk fragmentasi struktur narasi.  Novel tipe ini menghindari narator tunggal serba tahu yang banyak ditemukan dalam karya sastra klasik. Ia menghadirkan lebih banyak narator sekunder yang terkadang saling berdialog, saling melengkapi, atau justru saling menentang wacana satu sama lain.[14] Narasi polifoni inilah yang dipakai Boris Diop untuk menarasikan kembali genosida Rwanda sebagai tragedi yang kompleks dan terutama berkaitan dengan isu trauma dan politik internasional.


Berkaitan dengan isu trauma, saya teringat artikel berjudul Narratives of the Rwandan Genocides (2020) yang ditulis Josias Semujanga, profesor spesialis sastra frankofon Afrika dari Université de Montréal.[15] Dalam artikel tersebut, Semujanga menulis tentang dua cara yang kerap digunakan karya sastra untuk menceritakan kembali pengalaman traumatis. Pertama, ia tanpa lelah menceritakan kembali bagaimana pengalaman traumatis bisa terjadi. “It tirelessly repeats the wounds”, tulis Semujanga, untuk menggambarkan karya sastra yang menceritakan dengan sangat detil bagaimana peristiwa traumatis terjadi. Kendati sangat menyiksa, namun cara inilah yang bisa memastikan bahwa setiap memori traumatis itu tidak terlupakan begitu saja dan bahkan bisa terdengar oleh dunia. Dalam Murambi, Buku tentang Tulang belulang, Boris Diop jelas memanfaatkan narasi polifoni tersebut untuk menggambarkan kekerasan demi kekerasan selama genosida yang seringkali melampaui batas nalar kemanusiaan. Melalui narasi polifoni, adegan seperti penyembelihan di dalam gereja, pemerkosaan secara bergilir, hingga pemaksaan benda-benda tertentu ke dalam vagina, dideskripsikan secara detil oleh narator-narator novel. Meski seakan membuka luka-luka lama, namun cara inilah yang bisa membuat kisah-kisah tersebut tidak lenyap dari sejarah, dan mampu mengajak pembaca untuk berempati terhadap korban.


Namun cara pertama saja tidak cukup. Menurut Semujanga, karya sastra tentang trauma juga harus mengungkapkan apa yang disebut resilience, yaitu kisah tentang manusia-manusia yang tetap bertahan hidup meski berkali-kali digempur penderitaan.[16] Saya kira, cara kedua inilah yang sangat penting untuk memastikan bahwa sebuah karya tidak jatuh pada kecenderungan “mengeksotisasi” apalagi “mengeksploitasi” kekerasan sebagai nilai tawar utamasebuah novel. Dengan kisah tentang resiliensi, sastra tidak hanya mengungkapkan masa lalu yang penuh luka, namun juga menawarkan masa depan di mana harapan masih selalu ada. Cara kedua ini pula yang dipakai Boris Diop dalam menarasikan genosida Rwanda. Melalui keragaman suara tokoh-tokohnya, novel ini akan memperkenalkan kita pada sosok-sosok yang percaya bahwa ada yang tetap bisa dibangun dari puing-puing peradaban yang pernah remuk redam. Kita misalnya akan bertemu sosok Siméon Habineza, lelaki tua yang kehilangan seluruh anak istrinya selama genosida namun memilih tak memupuk dendam, dan justru membangun panti asuhan untuk anak-anak yatim korban genosida. Selain itu, ada pula tokoh-tokoh seperti Cornelius Uvimana, Jessica Kamanzi, hingga Stanley Ntaramira yang mencoba sembuh dari trauma masa lalu dengan turut mendukung proses rekonsiliasi Hutu-Tutsi dengan peran masing-masing.


Namun saya kira, Boris Diop juga menggunakan narasi polifoni untuk menemukan cara ketiga dalam menceritakan trauma genosida, yaitu dengan mengungkap kompleksitas politik sekaligus relasi kuasa Selatan-Utara[17]di balik genosida Rwanda. Dalam novel iniBoris Diop menciptakan seorang tokoh bernama Kolonel Étienne Perrin yang merupakan seorang tentara Prancis yang bertugas di Rwanda. Melalui tokoh inilah, novel ini mengungkap bahwa ada keterlibatan Prancis dalam genosida Rwanda. Tak tanggung-tanggung, novel ini dengan tegas bahkan menulis “Senang atau tidak, apa yang telah terjadi di Rwanda adalah bagian dari sejarah Prancis abad 20.”[18] Singkat kata, melalui suara Étienne Perrin, kita akan mengenal sebuah fenomena neokolonialisme yang disebut Françafrique.


Apa itu Françafrique?


Secara singkat, Francafrique merujuk pada relasi neokolonialisme Prancis terhadap negara-negara Afrika yang sebagian besar merupakan bekas koloninya. Françafrique merupakan mesin raksasa yang memaksa Afrika tetap tergantung terhadap Prancis baik secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya, meskipun negara-negara Afrika telah merdeka sejak tahun 1960-an. Sistem ini bekerja dengan berbagai cara, seperti menempatkan politikus-politikus lokal pro-Prancis sebagai presiden, menyeponsori kudeta-kudeta militer, memaksakan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional, dan lain sebagainya, yang semuanya mengarah pada satu tujuan, yaitu mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya alam Afrika. Dalam dua dekade terakhir, istilah ini sangat populer dalam kajian poskolonialisme di Prancis setelah seorang ekonom progresif bernama François-Xavier Verschave menulis buku berjudul La Françafrique: le plus long scandale de la République (1998). Melalui buku inilah, Verschave mengungkap bahwa segala mala di Afrika, mulai dari kelaparan, korupsi, diktatoriat, perang sipil, genosida, dan daftar panjang keruwetan lainnya, bukan semata terjadi karena ketidakbecusan orang Afrika, namun juga akibat sepak terjang Prancis di benua tersebut.[19]


Di Rwanda sendiri, fenomena Françafrique merupakan isu tak terbantahkan kendati negara ini tak pernah dijajah langsung oleh Prancis. Campur tangan Prancis bermula pada tahun 1973 ketika Juvénal Habyarimana baru sajamengkudeta presiden pertama Rwanda, Grégoire Kayibanda. Sadar akan posisinya yang belum kuat, Habyarimana berusaha mencari sekutu yang bisa membekengi dan melanggengkan kekuasaannya. Di tengah situasi inilah, Prancis datang sebagai sekutu yang menawarkan sistem kerja à la mafia, “je te protège, je te garantis, mais cela a un prix”(Aku melindungimu, aku menjamin kekuasaanmu, tetapi semua ada harganya).[20]


Prancis pun mulai menyokong bantuan-bantuan militer. Selama perang melawan FPR, Prancis bahkan turut menyeponsori Interahamwe yang selama ini telah membantai puluhan ribu orang Tutsi. Di hadapan sekutu yang bisa mengobral keuntungan, semboyan humanisme dan liberté d’expression yang selalu Prancis gaung-gaungkan mendadak impoten.


Tentu saja semua itu tidak cuma-cuma. Dengan membekengi rezim Habyarimana, Prancis mendapat kesempatan untuk mempertahankan hegemoni bahasa Prancis di Rwanda dan negara-negara sekitarnya. Hal ini penting mengingat ketahanan bahasa Prancis merupakan pintu pertama untuk bisa mengeruk profit-profit lain yang lebih besar, terutama terkait bahan mentah industri dan mineral Afrika. Selain itu, sepak terjang ini juga berhubungan dengan trauma sejarah ketika bahasa Prancis kehilangan pengaruhnya di Afrika akibat kekalahan  Prancis dari Inggris dalam krisis di Fashoda.[21]


Murambi, Buku tentang Tulang Belulang juga mengecam sikap Prancis selama genosida berlangsung. Sebagai negara yang kerap terlibat dalam operasi militer Rwanda, Prancis sebenarnya telah menempatkan ribuan tentaranya di Rwanda bahkan sejak jauh hari sebelum genosida. Namun alih-alih berusaha menghentikan pembantaian yang tepat berada di bawah hidung mereka, tentara Prancis justru berkacak pinggang sambil berkemah di sekitar titik-titikpembantaian. Dalam novel ini, Boris Diop menarasikan ulang fakta sejarah tersebut dengan menampilkan satu adegan yang menceritakan satu pleton tentara Prancis yang berkemah dan bermain voli tepat di samping Sekolah Teknik Murambi, latar utama pembantaian dalam novel ini.


Dakwaan terkeras Diop juga ditujukan terhadap Operasi Turquoise, yaitu operasi militer Prancis di Rwanda yang dilakukan pada akhir Juni 1994, atau tiga bulan setelah dimulainya genosida. Dalam operasi tersebut, Prancis memobilisasi 2500 tentara untuk menciptakan zona-zona perlindungan korban genosida.[22] Pertanyaannya, mengapa Prancis baru bergerak ketika setidaknya 800 ribu orang telah tewas? Di saat Rwanda telah menjadi lautan darah, Prancis tiba-tiba berlagak menjadi pahlawan.


Menurut Colette Braeckman, seorang jurnalis Belgia, tak ada satupun alasan logis yang mampu menjelaskan tindakan tersebut, kecuali bahwa Operasi Turquoise bertujuan untuk melindungi Interahamwe dari kemenangan mutlak FPR.[23] Sebab seperti sudah menjadi rahasia umum, Prancis adalah sahabat mesra dari organisasi paramiliter tersebut. Novel ini nampaknya memiliki pandangan serupa dengan Braeckman ketika ia menampilkan sebuah sekuen yang menceritakan para jagal Interahmwe yang berteriak “Vive la France!” ketika pasukan Operasi Turquoise datang.


Uniknya, Murambi, Buku tentang Tulang Belulang ditulis pada tahun 2000, tetapi nyaris semua kecurigaan Boris Diop terhadap Prancis terbukti 21 tahun kemudian ketika terbit sebuah dokumen setebal lebih dari 1000 halaman bernama Rapport Duclert. Secara singkat, Rapport Duclert adalah dokumen sejarah yang mengungkap sejauh mana keterlibatan Prancis selama genosida Rwanda. Dokumen ini disusun oleh 15 sejarawan Prancis yang mendapat akses membuka arsip kepresidenan, militer, dan intelijen Prancis dalam kasus Rwanda. Kesimpulan utama dari dokumen tersebut adalah bahwa Prancis mempunyai “la responsabilité lourdes et accablantes” alias “tanggung jawab berat dan fatal” karena telah berpura-pura buta terhadap proses persiapan hingga eksekusi genosida Rwanda. Pasca rilisnya dokumen tersebutPresiden Macron terbang ke Rwanda pada 27 Mei 2021 dan menyampaikan pidato di Kigali yang mengakui keterlibatan dan tanggung jawab Prancis selama genosida. Pidato tersebut mendapat tanggapan dari Paul Kagame, Presiden Rwandasaat ini, yang mengatakan bahwa pengakuan tersebut jauh lebih berharga dibanding sekadar permintaan maaf.[24]

 

Dari Genosida 1994 ke Genosida 1965

 

Sikap kritis terhadap relasi neokolonial inilah yang menjadi ciri khas dari karya-karya Boubacar Boris Diop.[25]Alasan ini pula yang membuat saya merasa bahwa novel ini begitu penting untuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sebab sejauh pembacaan saya, belum banyak karya sastra Indonesia yang membahas isu relasi kuasa dalam politik internasional terkait isu kekerasan negara, apalagi jika itu menyangkut tragedi genosida 1965.[26]


Padahal seperti kita tahu, hari ini sudah menjadi rahasia umum jika Amerika Serikat adalah aktor besar di balik genosida 1965—sebagaimana Prancis di balik genosida Rwanda. Fakta ini juga sudah dibeberkan pada tahun 2015 oleh International People’s Tribunal di Belanda yang menyatakan dengan jelas bahwa Amerika Serikat telah membantu militer Indonesia dalam melakukan pembunuhan, penyiksaan, perbudakan, hingga kekerasan seksual selama genosida 1965.[27]


Proses keterlibatan tersebut juga dibahas secara detil oleh Vincent Bevins dalam bukunya, Metode Jakarta (2022)yang menyimpulkan bahwa Amerika Serikat adalah “bagian tak terpisahkan dari operasi 1965 dalam tiap tahapnya, berawal jauh sebelum darah pertama tumpah, sampai jenazah terakhir rubuh.”[28]


Bagaimana proses keterlibatan tersebut?


Campur tangan Amerika Serikat berawal dari konteks perang dingin ketika mereka harus melawan Uni Soviet dan ideologi kiri yang begitu cepat menyebar di Asia. Di Indonesia sendiri, PKI bahkan sukses menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Kondisi ini tentu membuat Amerika Serikat kalang kabut. Apalagi kala itu, Soekarno semakin merapat pada ide-ide kiri dan terus menyerukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak Indonesia.[29]


Demi mencegah hal tersebut, Amerika mulai menyusun berbagai strategi untuk melemahkan kekuatan Soekarno. Mereka mulai merancang taktik-taktik macam Francafrique, yang kelak akan kita kenal dengan nama Metode Jakarta. Salah satu strategi awal tersebut adalah dengan menjalin kedekatan dengan ABRI yang sejak lama memang kerapberseberangan dengan kaum komunis. Maka sejak 1958, Amerika mulai memberikan pelatihan operasi, intelijen, dan logistik terhadap lebih dari seribu tentara Angkatan Darat Indonesia yang mereka bawa ke Pangkalan Fort Leavenworth, Kansas. Dari pangkalan inilah, kelak akan lahir jendral-jendral Anti-Soekarnoyang sekaligus sangat antikomunis, dan teguh mendukung kebijakan liberal Amerika.[30]


Kerjasama CIA dengan para alumni Kansas ini akan menjadi kunci dari operasi penumpasan 1965. Sepanjang Oktober 1965, misalnya, CIA turut membantu ABRI dalam menyebarkan berita-berita palsu tentang kekejaman PKI. Berita-berita inilah yang kelak akan membakar kebencian rakyat sipil dan membuat mereka sukarela menjadi jagal yang siap menumpas siapapun orang-orang terduga PKI. Pada Desember 1965, kantor CIA di Bangkok juga terus mengirimkan suplai senapan, medis, dan daftar nama orang-orang terduga kiri kepada ABRI, yang nantinya akan mereka salurkan pada para jagal di lapangan. Secara keseluruhan, hubungan gelap CIA dan ABRI ini diperkirakan membunuh satu juta orang Indonesia. Sarwo Edhie Wibowo, sosok yang dijuluki jendral penumpas PKI, bahkan sesumbar jika tentara telah melibas setidaknya tiga juta nyawa.[31]


Tentu bantuan Amerika juga bukan tanpa syarat. Pasca lengsernya Soekarno, Indonesia harus meneken syarat kerelaan mengadopsi ekonomi IMF. Namun itu saja belum cukup. Hanya beberapa hari setelah naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan, orang-orang Freeport langsung menjelajahi hutan Papua dan segera menemukan gunung di Tembagapura yang kini menjadi tambang emas terbesar dunia.[32] Singkat kata, jika ada yang paling diuntungkan dari genosida 1965, maka ia adalah Amerika Serikat. Dan jika ada yang paling dirugikan, maka ia adalah bangsa Indonesia.


Pertanyaannya, sejauh mana sastra Indonesia pernah membahas keterlibatan Amerika Serikat tersebut?


Ironisnya, sastra Indonesia justru pernah menjadi bagian dari sistem ciptaan Amerika yang turut melanggengkan kekerasan dalam isu genosida 1965. Hal ini sudah diungkap oleh Wijaya Herlambang dalam bukunya, Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013), yang menunjukkan bagaimana CIA telah menyusupi dunia sastra Indonesia melalui lembaga kebudayaannya yang bernama CCF (Congress for Cultural Freedom).[33] Sejak dekade 1950-an, CCF misalnya telah menyeponsori majalah politik kebudayaan Konfrontasi yang dijuluki sebagai majalah corong antikomunis.[34] Pasca 1965, CCF juga semakin gencar dalam mengarahkan kebudayaan Indonesia agar bersifat liberal, anti-marxisme, dan bahkan mendukung militerisme khas Orde Baru. CCF misalnya turut mendanai majalah Horison yang kerap menerbitkan karya sastra yang menormalisasi pembantaian terhadap orang-orang terduga komunis. Seperti ditulis Wijaya Herlambang, Horison bekerja dengan cara menerbitkan kisah-kisah bertema tragedi 1965 yang dengan cara sangat halus mengarahkan pembaca untuk bersimpati terhadap para jagal, alih-alih korban genosida.[35]


Tentu tidak semua karya sastra Indonesia mempunyai sikap serupa. Novel September (2006) karya Noorca M. Massardi, misalnya, adalah satu—kalau bukan satu-satunya—karya sastra Indonesia yang telah secara ekspisit menyinggung keterlibatan CIA dalam kudeta 1965.[36] Novel yang dijuluki Wijaya Herlambang sebagai “karya sastra pertama yang menjungkirbalik narasi resmi peristiwa 1965”[37] ini dengan berani menampilkan pembantaian 1965 sebagai buah dari konspirasi para jendral sayap kanan yang disokong Amerika. Selain itu, Yoseph Tapi Taum dalam artikelnya Kritik New Historicism dalam Pergulatan Akademis Ilmu Sastra: Studi Kasus Representasi Tragedi 1965, juga telah mengungkap jika ada beberapa karya sastra Indonesia, khususnya dari periode 1965-1970 dan 1981-1998, yang telah melakukan perlawanan humanistik terhadap Orde Baru dengan cara membingkai genosida 1965 sebagai kejahatan kemanusiaan, alih-alih peristiwa heroik seperti yang terus dilembagakan pemerintah Soeharto. Bagi Taum, sastra Indonesia bahkan pernah menjadi “penjaga nurani bangsa” karena berani menunjukkan simpati terhadap korban di era ketika “menghalalkan pembantaian anak bangsa yang terkait organisasi politik PKI beserta anak, cucu, dan sanak saudaranya” masih dianggap wajar.[38]


Hari ini, lebih dari 50 tahun setelah genosida 1965, saya kira sudah saatnya kita—sastra Indonesia secara khusus, dan bangsa Indonesia secara umum—melihat peristiwa tersebut sebagai tragedi yang tidak berdiri sendiri di satu negara bernama Indonesia. Sebab bagaimanapun, tragedi ini bukan semata peristiwa trauma kolektif bangsa kita, tetapi juga bagian dari kompleksitas politik global dalam konteks relasi kuasa Selatan-Utara. Hanya dengan melihat setiap kekerasan negara melalui perspektif tersebut, maka kita akan merasa terhubung dengan bangsa-bangsa lain yang sampai hari ini juga masih berjuang lepas dari jerat penindasan neokolonial, entah dalam nama Françafrique, Metode Jakarta, dan lain sebagainya. Dan semoga, melalui novel yang berada di tangan Anda inilah, kita akan berangkat untuk lebih merefleksikan apa yang disebut sebagai solidaritas global.

 

Ari Bagus Panuntun

Yogyakarta, 18 Mei 2023

Tulisan ini merupakan kata pengantar untuk novel Murambi, Buku tentang Tulang Belulang

 

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtine, Mikhaïl, La poétique de Dostoïevski (Paris: Seuil, 1970)

Bevins, Vincent, Metode Jakarta, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2022)

 

Braeckman, Colette. “Cowardice and Conscience.” World Policy Journal, vol. 15, no. 4, 1998,

Diop, Boubacar Boris, La ViE en %$ !, (Foreign Policy, 2010)

Diop, Boubacar Boris, Murambi, le livre des ossements, (Paris: Stock, 2000)

Diop, Boubacar Boris, The Montpellier Summit : The New Look of Françafrique, diakses di https://blogs.mediapart.fr/boubacar-boris-diop/blog/081021/montpellier-summit-new-look-francafrique (2021)

Final Report of the IPT 1965: Finding and Documents of the International People’s Tribunal on Crimes against Humanity Indonesia 1965 (Jakarta, 2013)

Foulcher, Keith, “Bringing the World Back Home: Konfrontasi and the International Orientation in Indonesian National Culture, 1954-1960” Heirs to World Culture, (2012)

Herlambang, Wijaya, Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2019)

Mabanckou, Alain, Huit leçons sur l'Afrique, (Paris: Grasset, 2020)

Massardi, Noorca M., September, (Yogyakarta: Basabasi, 2017)

Mathé, Philippe, Génocide, Tutsi et Hutu, rôle de la France… Que s’est-il passé en 1994 au Rwanda?, diakses di https://www.ouest-france.fr/monde/rwanda/genocide-tutsi-et-hutu-role-de-la-france-que-s-est-il-passe-en-1994-au-rwanda-4c561752-bee3-11eb-a219-8f747c6d3d1b

Melvin, Jess, Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966, (Depok: Komunitas Bambu, 2022)

Ndiaye, Christiane. "Monstres, princesses et justicières : du féminin pluriel chez Boubacar Boris Diop." Études françaises, volume 55, number 3, (2019) https://doi.org/10.7202/1066606ar

Nugraha, Kelana Wisnu Sapta, “Elang Liberal di Kaki Langit Indonesia”, Finks: Bagaimana CIA mengelabui Para Penulis Besar Dunia, (Pustaka Pias: Bandung, 2021)

Sartre, Jean Paul, Qu'est ce que la littérature, (Paris: Gallimard, 1947)

Seck, Fatoumata, “Mettre sa langue à la première place : entretien avec Boubacar Boris Diop” Études littéraires africaines, 2018 

Semujanga, Josias, “Narratives of the Rwandan Genocides” The Routledge Companion to Literature and Trauma (Oxfordshire: Routledge, 2020)

Taum, Yoseph Tapi, “Kritik New Historicism dalam Pergulatan Akademis Ilmu Sastra: Studi Kasus Representasi 1965” Poe(li)tics, Esai-esai Kritik Sastra di Indonesia (Yogyakarta: PKKH UGM, 2015)

Verschave, François-Xavier, La Françafrique: le plus long scandale de la République, (Paris: Stock, 1998)  

Whitney, Joel, Finks: Bagaimana CIA mengelabui Para Penulis Besar Dunia, (Bandung:Pustaka Pias, 2021)



[1] Boubacar Boris DiopMurambi, le livre des ossements, (Paris: Stock, 2000)

[2] Alain Mabanckou, Huit leçons sur l'Afrique, (Paris: Grasset, 2020), 175

[3] Selain Hutu dan Tutsi, ada pula orang Twa yang merujuk pada para pemburu. Persentase orang Twa sangat sedikit, hanya sekitar 1% penduduk Rwanda

[4] Josias Semujanga, “Narratives of the Rwandan Genocides” The Routledge Companion to Literature and Trauma (Oxfordshire: Routledge, 2020), 395

[5] Ibid

[6] Saat itu Rwanda masih menjadi bagian dari negara jajahan bernama Urundi-Ruanda yang merupakan aneksasi antara Burundi dan Rwanda yang dilakukan oleh Belgia.

[7] Alain Mabanckou, op.cit, 76-185

[8] Ibid

[9] Philippe Mathé, Génocide, Tutsi et Hutu, rôle de la France… Que s’est-il passé en 1994 au Rwanda?, diakses di https://www.ouest-france.fr/monde/rwanda/genocide-tutsi-et-hutu-role-de-la-france-que-s-est-il-passe-en-1994-au-rwanda-4c561752-bee3-11eb-a219-8f747c6d3d1b(2021)

[10] Christiane Ndiaye. "Monstres, princesses et justicières : du féminin pluriel chez Boubacar Boris Diop." Études françaises, volume 55, number 3,(2019) https://doi.org/10.7202/1066606ar

[11] Sastrawan engagé atau sastrawan terlibat adalah istilah yang diperkenalkan Jean Paul Sartre untuk merujuk pada para penulis yang konsisten menyuarakan isu-isu sosial dengan perspektif progresif. Selengkapnya baca: Jean Paul Sartre, Qu'est ce que la littérature, (Paris: Gallimard, 1947)

[12] Fatoumata Seck, “Mettre sa langue à la première place: entretien avec Boubacar Boris Diop” Études littéraires africaines, 2018

[13] Kata “poskolonial” di sini merujuk pada sifat dari karya sastra yang mencoba menggugat dampak-dampak dari kolonialisme terhadap eks bangsa-bangsa terjajah. Sementara kata “pascakolonial” merujuk pada keterangan waktu yaitu masa setelah kemerdekaan. Dalam bahasa Prancis, istilah “poskolonial” dan “pascakolonial” dibedakan dengan istilah “postcolonial” dan “post-colonial.”

[14] Mikhaïl Bakhtine, La poétique de Dostoievski, 1970, Paris, Seuil

[15] Josias Semujanga, op.cit, 2020, 399

[16] Ibid

[17] Terjemahan dari Global South-Global North. Dalam diskusi tentang politik global, konsep Selatan-Utara tidak sepenuhnya merujuk pada posisi geografis. Istilah Selatan lebih merujuk pada negara-negara berkembang yang mengalami problem ketimpangan global. Sementara istilah Utara merujuk pada negara-negara maju yang mayoritas adalah bekas negara penjajah.

[18] Boubacar Boris Diop, op.cit, 2000

[19] François-Xavier Verschave, La Françafrique: le plus long scandale de la République, (Paris: Stock, 1998); Boubacar Boris Diop, La ViE en %$ !, (Foreign Policy, 2010)

[20] Fatoumata Seck, op.cit

[21] Ibid

[22] Fatoumata Seck, op.cit; Boubacar Boris Diop, The Montpellier Summit : The New Look of Françafrique, diakses di https://blogs.mediapart.fr/boubacar-boris-diop/blog/081021/montpellier-summit-new-look-francafrique (2021)

[23]Colette Braeckman, “Cowardice and Conscience.” World Policy Journal, vol. 15, no. 4 (1998)

[24] Philippe Mathé, op.cit

[25] Dalam novel-novelnya yang lain seperti Le temps de Tamango (1981), Les tambours de la mémoire (1987), hingga Kaveena (2006), Boris Diop juga menyinggung keterlibatan Prancis dalam kekerasan-kekerasan negara di Afrika

[26] Istilah genosida ini misalnya dipakai Jess Melvin dalam bukunya Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966. Lihat: Jess Melvin, Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966, (Depok: Komunitas Bambu, 2022)

[27] Final Report of the IPT 1965: Finding and Documents of the International People’s Tribunal on Crimes against Humanity Indonesia 1965(Jakarta, 2013)

[28] Vincent Benvins, Metode Jakarta, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2022), 240

[29] Ibid, 175

[30] Ibid, 122-123

[31] Ibid, 238

[32] Ibid, 234

[33] Mengenai sepak terjang CCF dalam mempengaruhi arah kebudayaan dunia hingga cara mereka mengelabui penulis macam Baldwin, Hemingway, dan Gabriel Garcia Marquez, baca: Joel Whitney, Finks: Bagaimana CIA mengelabui Para Penulis Besar Dunia, (Bandung:Pustaka Pias, 2021)

[34] Julukan ini diberikan karena Konfrontasi menerbitkan secara regular terjemahan esai dan sastra dari penulis-penulis antikomunis. Lihat: Kelana Wisnu Sapta Nugraha, “Elang Liberal di Kaki Langit Indonesia”, Finks: Bagaimana CIA mengelabui Para Penulis Besar Dunia, (Pustaka Pias: Bandung, 2021), p.xvi; Lihat juga Keith Foulcher, “Bringing the World Back Home: Konfrontasi and the International Orientation in Indonesian National Culture, 1954-1960” Heirs to World Culture, (2012)

[35] Wijaya HerlambangKekerasan Budaya Pasca 1965, (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2019), 103

[36] Noorca M.Massardi, September, (Yogyakarta: Basabasi, 2017)

[37] Wijaya Herlambang, op.cit, 268

[38] Yoseph Tapi Taum, “Kritik New Historicism dalam Pergulatan Akademis Ilmu Sastra: Studi Kasus Representasi 1965” Poe(li)tics, Esai-esai Kritik Sastra di Indonesia (Yogyakarta: PKKH UGM, 2015), 137