Romantic Primitivism
Ketika kolonialisme Prancis masih bercokol kuat di Afrika pada dekade 1950-an, dan rakyat Afrika masih menderita karenanya, seorang penulis Guinea bernama Camara Laye menerbitkan sebuah novel berjudul L’enfant noir (Si Bocah Hitam)—yang seperti judulnya—menceritakan kisah seorang bocah kulit hitam di satu desa terpencil di Afrika, dengan suasana tentram, damai, dan bahagia, meski berada di bawah kekuasaan kolonialisme. Terbit pada tahun 1953, novel ini langsung mengundang kontroversi. Di Afrika, novel ini mendapat kritik keras dari Mongo Beti—sastrawan progresif Kamerun yang posisinya mirip Pramoedya Ananta Toer di Indonesia—yang menyebut novel ini asyik sendiri mendeskripsikan pemandangan menawan Guinea dan tutup mata terhadap kekerasan kolonialisme. Sebaliknya, novel ini mendapat apresiasi tinggi dari publik Barat. Hanya satu tahun setelah penerbitannya, novel ini langsung diganjar Le prix Charles Veillon 1954, sebuah penghargaan sastra bergengsi dari Yayasan Charles Veillon, Belgia. Franz Hellen, sastrawan Belgia dan nominasi nobel sastra yang menjadi juri penghargaan ini, mengatakan bahwa L’Enfant noir mempunyai kualitas kesastraan yang jempolan dan mampu menunjukkan kejujuran dalam naskahnya. Lebih dari itu, ia menganggap novel ini telah menjembatani kebudayaan Afrika ke seluruh dunia, khususnya Prancis. (Steemers, 2012; Hellens, 1954)
L’Enfant noir adalah novel autobiografi yang menceritakan masa kecil penulis, Camara Laye, di Kouroussa, Guinea, pada tahun 1930-an. Melalui sudut pandang orang pertama, novel ini menceritakan kehidupan sang narator bersama ayahnya yang seorang pandai besi dan Ibunya yang penyayang. Novel ini merekam kehidupan Guinea dengan berbagai budayanya, mulai dari pesta panen, kisah para dukun dan griot (tukang dongeng) dengan kekuatan magisnya, hingga masyarakatnya yang masih percaya arwah leluhur dan memuja totem-totem. Selain menceritakan masa kecil narator, L’Enfant noir juga menceritakan masa remaja tokoh utama saat ia menjadi salah satu siswa paling cemerlang di école francaise.[1] Konflik cerita terjadi saat ia bimbang apakah harus menerima beasiswa untuk melanjutkan studi di Prancis atau meneruskan pekerjaan orang tuanya. Di akhir cerita, si bocah memutuskan untuk berangkat ke Paris. Cerita berakhir saat si bocah sampai di métropole dan naik métro untuk pertama kali. (Laye, 2008)
Salah satu elemen yang paling sering dikritik dari L’Enfant noir adalah penggambaran suasana Guinea yang sangat idyllic alias surgawi. Ia menjadi semacam novel Mooi Indië khas Afrika yang menggambarkan Guinea sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Dalam hal penggambaran lanscape alam, misalnya, novel ini menggambarkan Guinea sebagai negeri yang masih sangat perawan, seperti tampak dalam kutipan berikut:
A mesure que nous avancions sur la route, nous délogions ici un lièvre, là un sanglier, et des oiseaux partaient dans un grand bruit d’ailes; parfois aussi que nous rencontrions une troupe de singes; et chaque fois je sentais un petit pincement au coeur, comme plus surprise que le gibier même que notre approche alertait brusquement. (Laye, 2008: 40)
Ketika kami melangkah sepanjang jalan, seekor kelinci dan babi hutan segera bersembunyi, dan burung-burung terbang dengan kepakan sayap yang bergemuruh; terkadang, kami juga bertemu segerombolan monyet; dan setiap kali aku merasa agak kaget, hewan-hewan liar itu ternyata lebih terkejut mendapati kami yang tiba-tiba semakin dekat (Laye, 2008:40)
Bukan hanya pemandangan menawan, penggambaran ini juga dibarengi dengan deskripsi penduduk yang akur dan rajin bergotong royong, sebagaimana kutipan di bawah ini:
Jamais le ciel n’est plus clair, plus resplendissant; les oiseaux chantant, ils sont ivres; la joie est partout, partout elle explose et dans chaque coeur retentit. C’´était cette saison là, la belle saison, qui me dilatait la poitrine, et le tam-tam aussi [...] Parvenus au champ qu’on moissonnerait en premier lieu, les hommes s’alignaient sur la lisière, la torse nu et la faucille prête. Mon oncle Lansana, ou tel autre paysan, car la moisson se faisait de compagnie et chacun prêtait son bras à la moisson de tous, les invitait alors à commencer le travail (Laye, 2008: 57-58)
Langit tidak pernah secerah dan secemerlang ini; burung-burung bernyanyi dan mabuk oleh sukacita yang meletup-letup. Hatiku pun ikut bergema. Musim itulah, musim indah dengan genderang tam-tam yang membuat dadaku membuncah. Sesampainya di ladang yang akan dipanen pertam kali, para lelaki segera berbaris di tepi ladang, bertelanjang dada, dan siap dengan sabit mereka. Pamanku, Lansana, atau beberapa petani lain akan memberi tanda dimulainya panen, di mana setiap orang akan saling mengulurkan tangan agar pekerjaan lekas selesai (Laye, 2008: 57-58)
Narasi-narasi di atas, sebenarnya merepresentasikan sebuah pemikiran yang kerap disebut romantic primitivism, yaitu ide yang percaya bahwa orang-orang pribumi non-Barat hidup dengan tenang dan bahagia, di tengah alam yang masih hijau, dan masyarakat yang menjunjung tinggi kolektivitas lagi penuh optimisme. Menurut John Panish dalam Kerouac’s The Subterraneans: A Study of "Romantic Primitivism” (1994), pemikiran ini bisa menjadi bermasalah ketika ia memotret ras tertentu seperti noble savage, namun mengaburkan opresi-opresi yang mereka alami (Panish, 1994:107-108). Istilah romantic primitivism juga dipakai Ali. A Mazrui untuk mendeskripsikan pemikiran Léopold Sedar Senghor, sastrawan, pendiri gerakan négritude, sekaligus presiden pertama Senegal, yang percaya bahwa Afrika mempunyai budaya asli yang berjangkar pada la simplicité alias kesederhanaan. (Mazrui, 1995 & 2005). Kesederhanaan ini digambarkan misalnya lewat deskripsi penduduk Afrika yang jauh dari hiruk pikuk modernisme dan lebih memilih hidup menikmati alam yang surgawi sambil bernyanyi atau menari-nari. Hal ini digambarkan Senghor, misalnya, dalam bait penutup puisi Prière aux masques yang mendeskripsikan orang Afrika sebagai “les hommes de la danse, dont les pieds reprennent vigueur en frappant le sol dur (Manusia penari, dengan kaki yang begitu bergas, ketika menghentak tanah keras).” (Senghor, 1990:24).
Gambaran romantic primitivism ini muncul secara dominan dalam L’Enfant noir, misalnya dalam kisah tentang penduduk Desa Tindican, desa kelahiran ibu narator, yang digambarkan begitu ramah, ringan tangan, dan terbuka. Merekadigambarkan misalnya mempunyai tradisi penyambutan tamu, di mana setiap orang bersedia menjamu setiap tamu yang datang. Hal ini dinarasikan narator ketika ia pertama kali datang di Desa Tindican, sebagaimana tampak dalam kutipan berikut:
Les femmes sortaient de leurs cases et accouraient à nous, en s’exclamant joyeusement [...] De partout elles accouraient, de partout elles venaient m’accueillir; oui comme si le chef de canton en personne eût fait son entrée dans Tindican; et ma grand-mère rayonnait de joie [...] Et quand ces excellentes femmes nous quittaient, c’était pour surveiller la caisson d’énormes platées de riz et de volaille, qu’elles n’allaient pas tarder à nous apporter pour le festin du soir (Laye, 2008: 43-44)
Para perempuan keluar dari gubuk dan menyambut kami dengan berseru gembira […] Mereka datang dari mana-mana, dan dari mana-mana mereka menghampiriku; ya, seolah-olah kepala kanton sedang masuk Tindican; dan nenekku berseri-seri, penuh suka cita […] Dan begitu para perempuan luar biasa itu meninggalkan kami, mereka akan kembali menyiapkan sekotak besar nasi penuh lauk daging, yang akan mereka hidangkan untuk menjamu kami makan malam (Laye, 2008: 43-44)
Ide tentang kolektivitas ini sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam wacana kebudayaan Afrika. Narasi di atas yang menggambarkan perjamuan penuh nasi, lauk, dan senyum merekah para perempuan, sebenarnya juga merepresentasikan adagium terkenal dari Seydou Badian, penulis Mali, “L’homme est un peu comme un grand arbre : tout voyageur a droit à son ombre (Manusia seperti sebuah pohon besar yang memayungi setiap pengelana untuk berteduh”) (Badian, 1968:98). Gambaran tersebut juga tampak dalam sekuen tentang panen raya di Tindican yang digambarkan begitu festive, penuh nyanyian, tarian, juga iringan genderang tam-tam, seperti tampak dalam kutipan berikut:
Le tam-tam, qui nous avait suivi à mesure que nous pénétrions plus avant dans le champ, rythmait les voix. Nous chantions en chœur, très haut souvent, avec de grands élans, et parfois très bas, si bas qu’on nous entendait à peine ; et notre fatigue s’envolait, la chaleur s’atténuait […] Ils moissonnaient ensemble : leurs voix s’accordaient, leurs gestes s’accordaient ; ils étaient ensemble ! - unis dans un même travail, unis par un même chant.(Laye, 2008:62-63)
Tam-tam yang mengiringi kami masuk ke ladang, memberikan irama genderang. Kami bernyanyi dengan suara yang padu, seringkali sangat tinggi, dan penuh antusias, dan terkadang sangat rendah, terlalu rendah hingga nyaris tidak terdengar. Lelah kami pun lenyap dan gerah seperti menguap[...] Mereka panen bersama: suara mereka seirama, gerakan mereka selaras; mereka panen bersama! - bersatu dalam kerja yang sama, bersatu dalam lagu yang sama! (Laye, 2008:62-63)
Selain gambaran tentang alam surgawi dan penduduk yang riang gembira, romantic primitivism Senghor juga ditandai dengan kepercayaan terhadap konsep afrique mythique, yaitu ide yang percaya bahwa alam Afrika selalu terhubung dengan alam leluhur. Konsep ini hadir dalam banyak puisi Senghor yang sering menyandingkan elemen-elemen material khas Afrika, seperti musik (tam-tam, kora), hewan (buaya, manatee, macan kumbang), tumbuhan (labu siam, tuak nira), atau penduduk kulit hitam (perempuan hitam), dengan elemen-elemen magis seperti leluhur, alam baka, surga, jin, dan lain sebagainya (Malela: 2006). Konsep ini misalnya tampak dalam puisi D’autres chants di mana Senghor menulis:
Je ne sais en quel temps c’était, je confounds toujours l’enfance et l’Eden, comme je mêle la Mort et la Vie—un pont de douceur les relie (Senghor, 1990: 148)
Aku tak tahu kapan tepatnya, aku selalu mencampurkan masa kecil dan Taman Eden, seperti mencampuradukkan Kematian dan Kehidupan—jembatan manis yang selalumenghubungkannya(Senghor, 1990: 148)
Dimensi mistik ini juga hadir cukup dominan dalam L’Enfant noir. Novel ini misalnya menyoroti kosmogoni Afrika yang percaya bahwa orang Afrika selalu terhubung dengan leluhur hewan tertentu. Hal ini tampak dalam penggambaran keluarga tokoh utama yang percaya bahwa sang ayah adalah keturunan arwah ular. Kutipan yang diucapkan oleh tokoh Ibu di bawah ini menggambarkan kepercayaan tersebut:
Celui-ci, mon enfant, il ne faut pas le tuer: ce serpent n’est pas un serpent comme les autres, il ne te fera aucun mal; néanmoins ne contrarie jamais sa course […] Ce serpent, ajouta ma mère, est le genie de ton père (Laye, 2008:15)
Jangan pernah kau bunuh yang satu ini, Anakku: ular ini bukan ular seperti yang lain, ia tak akan menyakitimu; dan jangan pula menghalangi jalannya […] Ular ini, tambah ibuku, adalah leluhur ayahmu (Laye, 2008:25)
Di samping itu, novel ini juga menyoroti elemen-elemen tradisional Afrika terkait ritus-ritus leluhur. Ia misalnya mendeskripsikan secara detil ritual inisiasi anak yang harus dilalui tokoh utama. Novel ini menceritakan misalnya bagaimana seorang griot (tukang dongeng) harus membuka upacara inisiasi tersebut lalu mencukur dan menyunat setiap anak di Kouroussa yang berusia 12 sampai 14 tahun. Novel ini menjelaskan bahwa ritual malinke ini menyimbolkan tahap pembersihan dan semacam pepesan bahwa seorang anak telah siap melanjutkan hidup ke masa remaja.
Penggambaran tentang Afrika yang begitu surgawi ini sebenarnya telah menjadi perdebatan sejak lama. Namun, pada dasarnya, ide ini berangkat dari pemikiran Senghor yang percaya bahwa Afrika memiliki filosofi hidup yang berkebalikan dengan filosofi Eropa. Pemikiran ini terefleksikan dalam salah satu bait puisinya yang paling terkenal sekaligus paling kontroversial, “L’émotion est nègre, comme la raison est hellène (Emosi adalah Negro, nalar adalah Helenistik),” yang menggarisbawahi bahwa Afrika lebih terikat pada jiwa, sementara Eropa lebih terikat pada intelegensi (Senghor, 1964:24). Bait puisi tersebut mendapat penolakan dari banyak pemikir Afrika yang menganggap Senghor telahmengafirmasi pandangan eropasentris tentang irasionalitas orang Afrika. Penolakan tersebut misalnya diutarakan Boubacar Boris Diop, sastrawan Senegal, yang menganggap Senghor telah mengeksotisasi Afrika, bahkan memberi legitimasi atas mission civilisatrice alias misi pemberadaban Eropa (Diop, 2007:90).
Adapun terkait L’Enfant noir, penggambaran romantic primitivism ini juga tidak lepas dari kritikan tajam. Sebagaimana telah disinggung di awal tulisan, novel ini mendapat kritik keras dari Mongo Beti yang secara spesifik menyinggung penggambaran totem-totem dalam novel yang baginya tampak seperti cara orang Barat menulis buku etnologi:
Camara Laye parle abondamment de totems et de choses qu’on trouvait dans les livres d’ethnologie. Moi, je n’ai jamais entendu parler de totems dans mon ethnie ici. Dans le roman de Camara Laye, l’évocation du totem est faite de manière si artificielle que ce n’était pas crédible. (Beti, 2002:77)
Camara Laye bicara banyak tentang totem dan hal-hal yang hanya ditemukan dalam buku-buku etnologi. Di Afrika, saya tidak pernah mendengar mendengar orang dari etnis saya membahas totem. Dalam novelnya, Camara Laye menceritakan totem dengan cara yang artifisial sehingga sulit dipercaya. (Beti, 2002:77)
Berangkat dari pembacaan itulah, Beti menyimpulkan bahwa Laye tidak menulis L’Enfant noir untuk orang kulit hitam, melainkan untuk orang kulit putih. Pendapat tersebut sebenarnya bukan sekadar asumsi, terutama jika kita jugamenengok proses novel ini diterbitkan pada tahun 1953, oleh sebuah penerbit dari Prancis bernama penerbit Plon. Melalui jaringan-jaringan ekonomi dan politiknya, penerbit yang dekat dengan kekuasaan kolonial Prancis ini, nantinya akan mengambil peran penting dalam memasarkan L’Enfant noir, hingga novel ini mendapat resepsi positif dari publik Barat, dan lebih jauh lagi, bertransformasi menjadi salah satu karya kanon dalam sastra frankofon Afrika sub-Sahara.
Neokolonialisme Sastra dan Penerbit Plon
Hari ini, L’Enfant noir tidak diragukan lagi telah menjadi salah satu karya sastra paling penting dalam khazanah sastra frankofon Afrika. Adele King, peneliti sastra Afrika dari Amerika, menyebut novel ini setara dengan Things Fall Apart (1954) karya Chinua Achebe (Achebe, 1958). Jika Things Fall Apart merepresentasikan sastra kualitas jempolanpertama dari Afrika anglofon, maka L’Enfant noir mewakili Afrika frankofon. (King, 2002:2) Seorang peneliti sastra frankofon bernama Dorothy Blair juga menyebut novel ini sebagai penanda zaman sastra frankofon Afrika 1950-an, dan Camara Laye adalah sastrawan Afrika paling berbakat di zamannya (Steemers, 2012:40-41).
Meski demikian, perdebatan tentang novel ini masih belum berakhir. Pada tahun 2012, Vivan Steemers, seorang peneliti sastra dari Michigan University, menerbitkan sebuah buku berjudul Néocolonialisme littéraire (Neokolonialisme Sastra) yang berargumen bahwa kanonisasi L’Enfant noir sebenarnya tidak bisa lepas dari kepentingan politik Prancis, khususnya di era kolonial.
Argumen Steemers berangkat dari teori arena produksi kultural Pierre Bordieu yang menjelaskan bahwa penerbit adalah bagian dari institusi kekuasaan yang bisa menentukan pembentukan nilai sebuah karya. Dalam artikelnya, La Production de la croyance : contribution à une économie des biens symboliques (1977), Bordieu menjelaskan bahwa penerbit adalah intermediaire atau penghubung yang menentukan bagaimana sebuah karya bisa diterima, dibaca, bahkan disakralkan oleh masyarakat. Ia mendeskripsikan proses tersebut dalam kutipan berikut:
On entre en literature non comme on entre en religion, mais comme on entre dans un club select: l’éditeur est de ces parrains prestigieux (avec les préfaciers, les critiques, etc.) qui assurent les témoignages empresses de reconnaissance. (Bordieu, 1977:6)
Seseorang memasuki dunia sastra tidak seperti memasuki agama, melainkan seperti memasuki sebuah klub yang selektif: penerbit adalah salah satu pendukung yang prestisius (bersama dengan penulis kata pengantar, para kritikus, dll.) yang memastikan testimoni-testimoni terhadap karya tersebut bisa menghasilkan pengakuan. (Bordieu, 1977:6)
Melalui kutipan di atas, Bourdieu menjelaskan bahwa setiap karya sastra yang sampai kepada publik sebenarnya merupakan hasil saringan ketat dari penerbit, yang bekerja selayaknya un club de select alias klub-klub selektif. Bagi Bordieu, penerbit adalah mesin penyaring yang memastikan bahwa setiap karya yang terbit sesuai dengan visi, kepentingan, dan ideologi mereka. Lebih jauh lagi, kutipan tersebut juga menjelaskan bahwa karya sastra sebenarnya bukan sekadar apa yang ditulis oleh pengarang. Selain reçit (teks utama yang memuat kisah), ada pula aspek-aspek eksternal yang berpengaruh membentuk nilai sebuah karya. Aspek eksternal tersebut di antaranya adalah peran penerbit dalam mengemas sebuah karya sejak sebuah manuskrip baru masuk ke meja redaksi, hingga ia melalui proses panjang seperti penyuntingan, pemilihan sampul, penambahan kata pengantar, endorsement, penentuan harga, teknik promosi, dan lain sebagainya. Bagi Bordieu, proses di balik meja tersebut bukan hanya krusial, namun juga sangat berpengaruh dalam membentuk resepsi pembaca.
Berangkat dari pemikiran tersebut, Steemers lalu berargumen bahwa resepsi positif yang diterima L’Enfant noir sejak awal diterbitkan hingga menjadi kanon sastra, sebenarnya tidak lepas dari peran penerbit Plon dan kepentingan politik penerbit tersebut, khususnya dengan pemerintah kolonial Prancis. Untuk memahami fenomena tersebut, ada tiga konteks fundamental yang perlu dipahami. Pertama, kondisi pasar buku sastra frankofon Afrika sub-Sahara pada tahun 1950-an, kedua, konteks sejarah penerbit Plon dan relasinya dengan kekuasaan Prancis, dan ketiga bagaimana proses penerimaan dan penyuntingan yang dilakukan penerbit Plon terhadap karya ini.
Terkait konteks pertama, kita perlu mengingat bahwa pada periode 1950-an, penulis Afrika dari negeri jajahan Prancis belum bisa menerbitkan karyanya di negaranya sendiri. Pada masa itu, hampir seluruh infrastruktur perbukuan di Afrika, seperti rumah penerbit dan pasar buku, masih dimiliki pemerintah kolonial Prancis (Steemers, 2012:27). Minimnya infrastruktur perbukuan ini mudah dipahami mengingat kala itu mayoritas penduduk Afrika belum menguasai bahasa Prancis, apalagi budaya baca tulis. Seperti ditulis oleh Goheney-Polanski, pada tahun 1950-an, politik bahasa Prancis yang dicetuskan Jules Ferry—yang mempunyai visi mempranciskan seluruh negeri kolonial—belum menyasar ke seluruh penduduk Afrika (Ferry, 1885). Hal ini karena indoktrinasi bahasa Prancis di era kolonial sangat terbatas dan hanya menyasar para pegawai kolonial. Adapun hilirisasi bahasa Prancis melalui sistem pendidikan formal justru baru dilakukan secara massif setelah negara-negara Afrika frankofon merdeka pada tahun 1960-an (Goheneix-Polanski, 2014:106-107).
Sebagai konsekuensinya, penulis Afrika yang saat itu ingin menerbitkan karyanya hanya bisa bergantung sepenuhnya pada penerbit-penerbit di Prancis (Steemers, 2012:27). Hal inilah yang secara otomatis membuat karya-karya dari Afrika harus mengikuti estetika dan standar ekonomi Prancis (Thierry, 2020:68-69). Maka, berkaitan dengan konteksinilah, penerbitan L’Enfant noir tidak bisa dipisahkan dari konteks kedua, yaitu posisi penerbit Plon yang secara historis memang memiliki kedekatan dengan kekuasan Prancis.
Didirikan oleh Henri Plon pada tahun 1845, Plon adalah salah satu penerbit yang memiliki sejarah panjang dan penting di Prancis. Ia memiliki reputasi utama sebagai penerbit buku bertema sejarah Prancis yang telah menerbitkan memoar-memoar tentang revolusi Prancis, era rezim kekaisaran pertama, perang 1870-1871, perang dunia pertama dan kedua, hingga perang Aljazair. Selain itu, Plon juga menerbitkan banyak biografi tokoh-tokoh politik dan militer Prancis. Salah satu terbitannya yang paling terkenal adalah Mémoires de guerre, sebuah trilogi autobiografi karya Jendral Charles de Gaulle, presiden yang memimpin Prancis selama Perang Dunia II (Sorel, 2016:25 & 731).
Sejak berdiri tahun 1845 hingga L’Enfant noir terbit tahun 1953, penerbit ini sudah dipimpin empat generasi di mana setiap generasi memiliki kedekatan dengan rezim tertentu, mulai dari rezim kekaisaran Louis-Napoléon Bonaparte hingga rezim republik kelima (Sorel, 2016:24). Henri Plon, sang pendiri dan pemimpin redaksi generasi pertama (1845-1872) adalah seorang bonapartiste garis keras. Adapun pada generasi kedua (1872-1895), Plon dipimpin oleh Eugène Plon, anak tunggal Henri Plon, dan Robert Nourrit, menantu laki-laki Henri Plon, dua figur yang merupakan pendukung setia rezim republik ketiga. Di era generasi ketiga (1895-1945), Plon diwariskan pada anak-anak Robert Nourrit, yaitu Pierre Mainguet dan Joseph Bourdel, yang merupakan seorang maurassiennes—pengikut pemikiran Charles Maurras, politikus dan filsuf Prancis yang memegang ideologi sayap kanan katolik (Khouri, 2007:54). Sejak era generasi ketiga ini, Plon secara langsung telah memiliki kedekatan dengan rezim kolonial Prancis. Selama l’affaire Dreyfus, mereka bahkan mendukung politik antisemit dengan menerbitkan Psst!, koran satir anti Yahudi (Sorel, 2016:731-732)
Adapun generasi keempat (1945-1962), atau era ketika L’Enfant noir terbit, berada di bawah kepemilikan Maurice Bordel, putra dari Joseph Bourdel. Bourdel sendiri telah sejak lama dekat dengan pemerintah kolonial. Kedekatan ini pula yang membawanya menerima l’Ordre national de la légion d’honneur pada tahun 1950, yaitu penghargaan untuk warga sipil yang dianggap telah memberikan jasa-jasa luar biasa terhadap Prancis. Meski demikian, penerbitan L’Enfant noir sebenarnya bukan hanya terealisasi berkat peran Bourdel, melainkan lebih kepada para punggawa tim redaksi, yaitu Charles Orengo, Guy Depré, dan Robert Poulet (Steemers, 2012).
Charles Orengo, direktur kesastraan Plon, adalah orang pertama yang menerima manuskrip L’Enfant noir. Orengo sendiri dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Menteri Dalam Negeri Prancis, François Mitterand. Selain itu, ia juga tokoh kunci yang kelak berhasil meyakinkan Charles De Gaulle untuk menerbitkan seri pertama memoarnya bersama penerbit Plon. Selain itu, Orengo dibantu oleh dua editor, Robert Poulet dan Guy Depré, yang dikenal dengan pandangan politik konservatif yang mendukung superioritas moral Barat atas bangsa-bangsa jajahan (Steemers, 2012:42) Di tangan mereka, Plon pernah menerbitkan jurnal sayap kanan Table Ronde yang menentang gerakan éngagé sartrienne dan memuat tulisan-tulisan bersikap antikomunis. Kedua sosok inilah yang mengambil peran paling banyak dalam menyunting L’Enfant noir.
Dalam proses penyuntingan tersebut, Robert Poulet adalah aktor yang paling banyak memberi masukan dan koreksi pada Camara Laye. Poulet sendiri adalah sosok yang percaya pada superioritas orang kulit putih terhadap kulit hitam. Sikap ini tercermin langsung dalam salah satu artikelnya tentang L’Enfant noir berjudul Les livres et la vie (1953)yang terbit di jurnal sayap kanan ekstrim Rivarol, di mana ia menulis:
On est d’abord un peu surpris, ensuite enchanté, de retrouver sous la plume du romancier guinéen le style élégant et sobre de nos conteurs traditionnels (Poulet, 1953:4; Steemers, 2012).
Awalnya kami sedikit terkejut, kemudian terpesona, mendapati bahwa seorang novelis Guinea bisa menulis dengan gaya elegan sekaligus terang dan jelas layaknya pendongeng tradisional (Poulet, 1953:4; Steemers, 2012).
Jika dibaca sekilas, kutipan tersebut memang seakan menunjukkan kekaguman Poulet terhadap kemampuan menulis Laye. Namun. di sisi lain, kutipan tersebut juga menyiratkan bahwa penerbitan L’Enfant noir sebenarnya tidak hanya didasarkan pada kualitas literernya, melainkan juga berangkat dari anggapan bahwa secara umum orang kulit hitam tidak bisa menulis sebaik orang kulit putih. Oleh karena itulah, seperti terbaca dalam kutipan di atas, Poulet mengaku terpesona ketika menemui seorang dari Guinea pandai menulis. Di samping itu, aksentuasi pada gaya “élégant (elegan)” dan “sobre (terang)” tampak berangkat dari asumsi eropasentris tentang karakter orang kulit hitam yang secara umum dianggap berlawanan dengan dua kata sifat tersebut, seperti misalnya “sauvage (liar)” atau “barbare (barbar)”. Sikap ini terlihat semakin jelas dalam resensi L’Enfant noir yang ia tulis di majalah Belgia, Le Phare. Dalam artikel tersebut, Poulet mereferensikan tokoh-tokoh kulit hitam dalam novel dengan istilah-istilah peyoratif seperti “un bon sauvage (manusia liar yang baik)”, “gens simples (manusia sederhana)”, l’âme nègre d’infantilisme (jiwa negro yang kekanak-kanakan)”, dan lain sebagainya yang banyak bersinggungan dengan asumsi-asumsi romantic primitivism (King, 2002; Poulet, 1953; Steemers, 2012).
Di samping itu, Poulet sendiri adalah representasi sempurna dari zeitgeiste mayoritas masyarakat Prancis tahun 1950-an yang percaya bahwa kolonialisme memberikan dampak positif bagi koloni-koloninya. Selama bekerja di Plon, ia bertanggung jawab menyeleksi karya-karya dari Outre-mer (negeri-negeri jajahan seberang laut) yang mampu membuktikan bahwa rezim kolonial telah berhasil mentransformasi para “primitifs” menjadi penulis bertalenta(Steemers, 2012). Sepanjang tahun 1950-an, ia memilah dan menyunting novel-novel dengan tema eksotisme yang melukiskan kehidupan surgawi nan tenang di tanah-tanah koloni. Penerbitan L’Enfant noir misalnya berdekatan dengan penerbitan novel-novel tema serupa, seperti La coline oubliée (1952) karya Mouloud Mammeri dari Aljazair dan Nam et Sylvie (1957) karya Pham Duy Khime dari Vietnam (King, 2002:15).
Adapun menurut Adele King, penerbitan novel-novel tersebut bertujuan untuk menjawab selera pembaca Prancis tahun 1950-an, yang di satu sisi, berhasrat mengalami eksotisme negeri jauh, namun di sisi lain, tidak ingin ambil pusing terhadap urusan-urusan politik berat—terutama terkait kolonialisme (King, 2002; Steemers, 2012). Maka, dengan novel yang menyajikan kisah romantic primitivism seperti L’Enfant noir, Plon memastikan bahwa karya tersebut dapat memenuhi horizon harapan pembaca Prancis yang mengimajinasikan Afrika sebagai negeri eksotis, dengan hutan dan semak-semak, matahari yang cerah, pribumi yang lugu dan harmonis, serta kedekatan dengan dunia magis. Penting dicatat, penerbitan L’Enfant noir juga disponsori oleh Ministère de la France d’outre-mer (Kementerian Prancis Seberang Laut). Fakta ini pula yang membuktikan bahwa novel ini pada dasarnya memang tidak bertentangan dengan kepentingan otoritas kolonial Prancis masa itu. Argumen tersebut diafirmasi sendiri oleh Guy Dupré, rekan kerja Robert Poulet, yang menegaskan bahwa L’Enfant noir adalah novel yang senada dengan karakter dan semangat Prancis, yaitu le culturalisme humanitariste dan le culturalisme apolitique (Steemers, 2012:149-151).
Eksotisme dalam Periteks L’Enfant Noir
Namun, peran penerbit Plon bukan hanya memastikan cerita novel ini sesuai dengan selera masyarakat Prancis. Lebih dari itu, Plon juga berperan menuangkan unsur eksotisme pada elemen-elemen di luar teks novel atau yang disebut Gérard Genette sebagai periteks. Apa itu periteks?
Secara singkat, periteks adalah elemen-elemen di luar teks utama karya sastra yang berfungsi melengkapi karya tersebut sehingga bisa menjadi sebuah buku. Periteks bisa berupa sampul buku, kata pengantar, endorsement, judul, sub-judul, dan lain sebagainya, yang menurut Genette dapat mempengaruhi resepsi pembaca terhadap karya tersebut. Tidak hanya itu, periteks juga merupakan bagian penting yang dapat menentukan hasil pemasaran (Genette, 1977:7).
Dalam Néocolonialisme littéraire, Steemers membahas bahwa larisnya angka penjualan L’Enfant noir dan proses sampai karya ini bisa menjadi kanon, ternyata tidak lepas dari peran penerbit Plon dalam merancang periteks novel ini seeksotis mungkin. Sebagai informasi, L’Enfant noir adalah karya yang sangat laris sejak terbitan pertama. Pada tahun 1955, novel ini memperoleh status best-seller dengan penjualan lebih dari 25.000 eksemplar. Angka ini terhitung fantastisuntuk pasar buku masa itu, apalagi untuk sebuah buku yang ditulis penulis Afrika. Sebagai perbandingan, novel Le pauvre christ de bomba (1955) karya Mongo Beti yang diterbitkan oleh Penerbit Laffont saja hanya terjual kurang dari 3000 eksemplar selama 15 tahun, sejak 1955 hingga 1970. Menurut Steemers, tingginya angka penjualan tersebut merupakan buah dari proses kerja penerbit Plon dalam merancang dan menentukan periteks novel, tepatnya terkait judul buku, nama pena penulis, sampul belakang, dan sampul depan novel (Steemers, 2012:50).
Berkaitan dengan judul buku, pada mulanya, manuskrip novel ini masih berjudul L’Enfant de Guinée (Bocah Guinea). Akan tetapi, penawaran tersebut langsung ditolak oleh Robert Poulet yang lebih memilih judul L’Enfant noir(Bocah Hitam). Seperti ditulis Miller, perubahan tersebut tentu bertujuan untuk menyesuaikan judul novel dengan pembaca Prancis. Sebab pada masa itu, pembaca Prancis belum mengenal istilah “Guinea” sebagai sebuah negara yang eksis—bahkan sampai hari ini, saya yakin nama tersebut masih asing bagi sebagian besar orang Prancis. Dibanding nama negara, atribut warna kulit jelas lebih relevan bagi masyarakat Prancis yang kala itu telah mengenal Afrika sebagai benua hitam.[2] Dengan menonjolkan identitas kulit hitam pula, maka kesan eksotisme Afrika bisa tertuang dengan efektif, jelas, dan kuat sejak dari judul saja. Selain itu, seperti ditulis Miller,“l’universalisme racial était plus attirant que le particularisme national” (universalisme rasial pasti lebih menarik dibanding partikularisme nasional.” (Steemers, 2012:118)
Selain judul, Poulet juga mengubah nama pena penulis. Sebagai catatan, nama asli dari Camara Laye adalah Abdoulaye Camara. Ada dua hal yang penting dicatat terkait perubahan nama ini. Pertama, Poulet telah membalik posisi nom (nama keluarga) dan prénom (nama depan) dari penulis. Dalam budaya Guinea, nama Camara sebenarnya bukan merujuk nama depan, melainkan nama keluarga dari wilayah Mande. Jika ditilik secara sederhana, pembalikan ini mungkin hanya bertujuan untuk membuat pembaca lebih mudah mengingat nama “Camara Laye”, yang memang terkesan catchy. Namun, menurut Christoper Miller dalam Theories of Africain : Francophone literature and anthropology in Afrika, pembalikan ini sebenarnya menyiratkan sikap Poulet yang menyepelekan identitas kultural Afrika. Kedua, ada penghapusan kata “Abdoul” dalam prénom “Abdoulaye”. Saya kira, hal tersebut bertujuan untuk menjaga citra L’Enfant noir agar tidak “terpolusi” oleh kata “Abdoul” yang lebih merujuk pada nama Arab atau Islam. Dengan memilih nama “Laye”, Plon berusaha memastikan bahwa citra romantic pritivism dalam novel bisa tersampaikan pada pembaca Prancis yang memang kala itu mengangankan eksotisme Afrika. (Steemers, 2012; Miller, 1990:116)
Eksotisasi periteks juga terjadi pada sampul belakang novel. Pada cetakan pertama, penerbit telah menyematkan biografi Camara Laye yang meliputi nama, tempat lahir, asal desa, dan latar belakang pendidikannya sebagai lulusan école francais. Penyematan elemen-elemen tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mengaksentuasi keliyanan penulis sebagai orang Afrika. Keliyanan sebagai orang Afrika tersebut juga kembali ditekankan dalam sinopsis novel berikut:
Il est fait de souvenir d’Afrique, évoquant durant toutes ces années où il a vécu loin de sa case natale et de la grande plaine d’Afrique (Steemers, 2012)
Novel ini ditulis dari kenang-kenangan tentang Afrika, dengan cara membangkitkan kenangan selama bertahun-tahun, ketika ia tinggal jauh di gubuk asalnya, di dataran besar Afrika (Steemers, 2012).
Meski demikian, bagian periteks yang paling kuat menonjolkan eksotisme Afrika adalah sampul depan novel. Seperti umum dipahami, sampul depan seringkali dianggap merepresentasikan keseluruhan isi buku. Lewat sampul depan, sebagian besar orang sudi membeli buku sebelum tahu isi cerita buku tersebut. Dari fakta inilah, sampul depan sering dianggap sebagai elemen paling esensial di luar teks yang sangat mempengaruhi ketertarikan pembaca dan pada akhirnyamempengaruhi penjualan karya pula (Genette, 1977).
Sebagai catatan, isu eksotisme sampul depan sendiri sudah menjadi perdebatan panjang dalam khazanah sastra frankofon Afrika sub-Sahara. Alain Mabanckou, seorang sastrawan Kongo, dalam bukunya Huit lecons sur l’Afrique (2020), mengatakan bahwa sampul depan novel-novel Afrika seringkali merepresentasikan citra-citra penuh stereotip tentang benua tersebut. Hal ini tidak lepas dari peran penerbit, khususnya penerbit Barat, yang kerap kali menggambarkan Afrika sebagai “un voyage lointain (perjalanan jauh)” yang menjanjikan “une balade exotique dans un univers palpitant où le mystère, l’aventure, la magie, et la sorcellerie (perjalanan eksotis ke dunia penuh misteri, petualangan, dan sihir yang mendebarkan)”(Mabanckou, 2020:113-114). Sebagai contoh, sampul-sampul novel Afrika kerap menampilkan gambar hutan belantara, tambur afrika, orang kulit hitam, lanskap luas dengan sinar matahari terang benderang, dan lain sebagainya, yang sebenarnya belum tentu berhubungan dengan isi cerita. Menurut Mabanckou, reproduksi citra eksotis ini lahir dari l’inconscient coloniale yang selalu ingin menampilkan Afrika dengan se-Afrika mungkin sesuai pandangan Barat (Mabanckou, 2020:113-114). Representasi semacam inilah yang juga ditentang keras oleh penulis muda Pantai Gading, Gauz, yang dalam salah satu wawancaranya pernah mengomel “Di Afrika, tidak ada yang peduli dengan sinar matahari. Kami bahagia saat turun hujan.”[3]
Dalam konteks L’Enfant noir sendiri, penonjolan eksotisme dalam sampul depan novel sebenarnya tidak terjadi sejak terbitan pertama. Untuk cetakan pertama, konsep sampul depan novel ini masih sangat sederhana. Sampul depan didominasi oleh warna hitam dengan kombinasi warna oranye dan merah. Selain itu, sampul depan ini hanya memuat judul, nama penulis, dan nama penerbit. Ia sama sekali tidak memuat ilustrasi apalagi foto penulis. Hal ini bisa dipahami mengingat pada tahun 1950-an, buku dengan sampul ilustrasi memang belum populer di Prancis. Pada masa itu, pembaca Prancis hanya mengandalkan sampul belakang untuk mendapat pandangan umum mengenai buku (Sorel, 2016:52). Dan seperti sudah dibahas sebelumnya, penerbit sudah memanfaatkan sampul belakang novel untuk menonjolkan eksotisme Afrika sebagai nilai jual L’enfant noir.
Perubahan signifikan justru terjadi pada tahun 1966, atau 13 tahun setelah terbitan pertama novel ini. Sejak terbitan tersebut, sampul novel ini selalu menyertakan ilustrasi atau foto seorang bocah kulit hitam sebagaimana tampak dalam gambar-gambar berikut:
Gambar-gambar di atas adalah beberapa contoh sampul depan L’Enfant noir yang bisa diunduh di website World Cat. Berdasarkan gambar tersebut, kita dapat melihat bahwa ilustrasi bocah kulit hitam tampak semakin jelas seiring berjalannya waktu. Jika dalam terbitan tahun 1966 dan 1970, si bocah kulit hitam hanya tampak dalam bentuk siluet, maka sejak edisi 1975 hingga edisi terbaru tahun 2008, sampul depan novel ini telah menampilkan secara eksplisit lukisan atau foto si bocah kulit hitam. Namun, jika diperhatikan lebih seksama, foto bocah-bocah tersebut tampak inkonsisten. Sebagai contoh, pada edisi Pocket 1976 dan Pocket 2008, bocah-bocah hitam tersebut berkepala plontos. Namun, pada edisi Plon 1976 dan Pocket Jeunesse 1994, bocah-bocah tersebut tiba-tiba berambut keriting. Di samping itu, masing-masing bocah juga mempunyai bentuk fisik dan usia yang berbeda. Hal ini menyiratkan bahwa penerbit juga tidak peduliamat pada bentuk fisik si bocah selama ia berkulit hitam. Yang menarik, perubahan sampul depan ini juga beriringan dengan peningkatan penjualan novel. Sebagai ilustrasi, antara tahun 1970 hingga 1973, novel ini terjual 111.392 eksemplar (Steemers, 2012). Tentu itu merupakan angka yang dahsyat untuk periode saat itu.
Pada akhirnya, fenomena evolusi periteks tersebut dapat menunjukkan bahwa eksotisme selalu menjadi bagian krusial dalam distribusi L’Enfant. Hal ini juga menunjukkan bahwa le désir d’exotisme (hasrat akan eksotisme) tidak hanya eksis pada tahun 1950 atau 1960-an, ketika kolonialisme masih bercokol kuat di Afrika. Lebih dari setengah abad sejak runtuhnya sistem penjajahan tersebut, eksotisme masih menjadi bagian penting dalam penjualan novel-novel frankofon Afrika, khususnya L’Enfant noir. Memang, isi yang romantic primitivism saja tidak cukup, kulit pun harus eksotis juga.
Daftar Pustaka
Achebe, C. (1958). Things Fall Apart. [[William Heinemann Ltd.]].
Badian, S. (1964). Sous l’orage. Paris: Presence Africaine.
Beti, M. (1956). Le pauvre Christ de bomba. Waveland Press.
Bourdieu, P. (1977). "La production de la croyance". Actes de La Recherche En Sciences Sociales, 13(1): 3–43. https://doi.org/10.3406/ARSS.1977.3493
Briere, Eloise. (1981). “Resistance à l’acculturation dans l’oeuvre de Mongo Beti” in Canadian Journal of African Studies, Vol. 15, No. 2. Avaible at https://www.jstor.org/stable/484408
Diop, B. B. (2007). L’Afrique au-delà du miroir. Available at from http://www.philippe-rey.fr/livre-L_Afrique_au_delà_du_miroir-84-1-1-0-1.html
Ferry, J. (1885). "The foundation of colonical policy". Official Journal of the French Republic. Available at from https://clio2web.uclouvain.be/items/show/9503
Genette, G. (1987). Seuils. Available at from https://www.abebooks.com/Seuils-Gerard-Genette-Editions-Seuil/17975973132/bd
Goheneix-Polanski, A. (2014). "L’argument civilisateur dans la doctrine coloniale de la langue française". Le Postcolonial Comparé, 97–112. https://doi.org/10.3917/PUV.JOUB.2014.01.0097
Hellens, F. (1954). Chronique littéraire : Le Prix Veillon dans La Dernière heure 3. Available at from https://en.wikipedia.org/wiki/Franz_Hellens
Khoury, Marcus (2017). "Rewriting the Twentieth-century French Literary Right: Translation, Ideology, and Literary History" Masters Theses, available at from https://doi.org/10.7275/9468894
King, A. (2002). Rereading camara laye. University of Nebraska Press.
Kom, A., & Beti, M. (2002). Mongo Beti parle avec Ambroise Kom. Bayreuth University.
Laye, C. (2008). L’enfant noir. Available at from https://www.lisez.com/livre-de-poche/lenfant-noir/9782266178945
L’Obs (Director). (2018). L’écrivain Gauz dénonce la négritude et appelle les Africains à s’affirmer. https://www.youtube.com/watch?v=jKCoFEOuXkk
Mabana, K. C. (2011). "Léopold sédar senghor et la civilisation de l’universel". Diogène, 235(3/4).
Mabanckou, A. (2020). Huit leçons sur l’Afrique. Available at from https://www.babelio.com/livres/Mabanckou-Huit-lecons-sur-lAfrique/1189990
Malela, Buata. (2006). " Pour une étude de la proximité et de la souffrance humaine dans les productions littéraires. Relecture croisée d’Éthiopiques de Senghor et des Nouveaux contes d’Amadou Koumba de Birago Diop" Francofonia
Mammeri, M. (1952). La Colline Oubliée. Folio Gallimard.
Mazrui, A. A. (1995). "Pan-Africanism: from poetry to power". Issue: A Journal of Opinion, 23(1): 35–38.
Mazrui, A. A. (2005). "The re-invention of Africa: Edward Said, V.Y. Mudimbe, and Beyond". Research in African Literatures, 36(3): 68–82. Available at from https://www.proquest.com/docview/207653562
Miller, C. L. (1990). Theories of Africans: francophone literature and anthropology in Africa. Available at from https://books.google.co.id/books?id=HWD6KrKtzSsC
Panish, Jon. (1994). "Kerouac's The Subterraneans: A Study of 'Romantic Primitivism'". Oxford University Press on behalf of Society for the Study of the Multi-Ethnic Literature of the United States (MELUS). Available at from https://www.jstor.org/stable/467875
Patricia, S. (2016). Plon le sends de l’histoire (1855-1962). Available at from https://pur-editions.fr/product/ean/9782753543683/plon
Phạm, D. K. (1957). Nam et sylvie: roman. Available at from https://books.google.co.id/books?id=fPQ9AAAAIAAJ
Poulet, R. (1953). Les livres et la vie. Available at from https://www.cairn.info/le-neo-colonialisme-litteraire--9782811107642-page-217.htm
Senghor, Léopold Sédar. (1964). Liberté I : negritude et humanisme. Available at from https://catalogue.nla.gov.au/Record/2948527
Senghor, Léopold Sédar. (1967). "Qu'est-ce que la négritude?" in Études françaises, vol. 3, no 1
Senghor, Léopold Sédar. (1990). Oeuvre Poétique. Paris, Seuil. Available at from https://www.abebooks.fr/rechercher-livre/titre/oeuvre-po%E9tique/auteur/senghor/
Singare, Issiaka Ahmadou. (2012). L'oeuvre poétique de Léopold Sédar Senghor : esthétique de la reception, procès de la création. Université de Cergy Pontoise, Français
Steemers, V. (2012). Le (néo)colonialisme littéraire - Karthala. Available at from https://www.karthala.com/lettres-du-sud/2618-le-neocolonialisme-litteraire-9782811107642.html
Thierry, R. (2020). "Francophone African publishing and the miscnception of world literature". In Francophone Literature as World Literature. https://doi.org/10.5040/9781501347177.0008
[1] Sekolah menengah era kolonial yang menggunakan sistem pendidikan Prancis.
[2] Penting dicatat, isu ras sendiri telah menarik perhatian masyarakat Prancis setidaknya sejak lahirnya gerakan négritude pada tahun 1930-an, yang memicu perdebatan tentang isu kesetaraan ras naik ke permukaan.
[3] L’Obs, L'écrivain Gauz dénonce la négritude et appelle les Africains à s'affirmer, diakses di https://www.youtube.com/watch?v=jKCoFEOuXkk