Kekuasaan dan Kenabian

Kekuasaan bukan hanya urusan orang hidup, tetapi juga mereka yang sudah mati. Perihal ini saya pelajari dari tiga antropolog, Marc-Éric Gruénais, Florent Mbambi, dan Joseph Tonda, setelah membaca tulisan mereka tentang fenomena pemilu di Republik Kongo tahun 1992. Kala itu, rebutan kekuasaan terjadi antara tiga calon presiden, Bernard Kolélas, Pascal Lissouba, dan Denis Sassou Nguesso. Yang aneh dari pemilu itu, masing-masing calon sibuk menyematkan diri mereka dengan sosok orang mati tertentu.

 

Bernard Kolélas adalah calon yang dikenal religius. Selama kampanye, ia kerap menyitir ayat-ayat injil dan menyebut nama Yesus. Citra ini pula yang membuatnya dijuluki berbagai atribut kekristenan: Si Musa, Mesias, Pejuang Perang Salib, Sang Martir, dan sebagainya. Namun tak cukup itu, Kolélas juga mencitrakan dirinya sebagai penjaga marwah tradisional. Inilah yang membuatnya kerap mengutip nama-nama pahlawan lokal, seperti Nzinga a Nkuwu, raja pertama Kongo, atau André Matsoua, pejuang lokal antikolonial dari suku Lari.

 

Berbanding terbalik dengan Kolélas, Pascal Lissouba adalah calon yang mencitrakan diri sebagai tokoh modern. Selama kampanye, ia selalu mengedepankan statusnya sebagai alumni Sorbonne, peneliti agronomi, sampai pengamat teknologi. Pendukung fanatiknya menjulukinya: Bapak Sainstifik, Profesor dari Segala Profesor, Calon Peraih Nobel, dan sebagainya. Lucunya, julukan itu sebetulnya tak tepat-tepat amat. Sebab, selama kampanye, Lissouba kerap mengumbar janji-janji politik yang di luar nalar. Ia, misalnya, ingin menyulap kota Brazzaville menjadi Une petite Suisse africaine (Swiss Kecil dari Afrika), dengan kereta-kereta gantung, dan pabrik-pabrik parfum berbahan dasar urin. Ironisnya, Lissouba tetap tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari sosok orang mati. Selama kampanye, ia tetap menjadi capres yang rajin safari dari gereja ke gereja. Dalam salah satu iklan kampanyenya, ia bahkan merepresentasikan dirinya mirip Yesus: turun dari langit dengan balutan cahaya ilahi.

 

Sementara itu, Sassou Nguesso, sang incumben, justru mencitrakan diri sebagai sosok antagonis. Alih-alih mendekati gereja, apalagi menjadi si paling empiris, Nguesso memilih menjadi penyihirIa memang tidak mencatut nama orang mati, tetapi menetapkan dirinya menjadi penguasa kematian itu sendiri. Sebelumnya, Nguesso memang sudah terkenal sebagai presiden otoriter. Ia tak segan menembak mati siapa pun yang mengkritiknya. Korban petrus berjatuhan. Uniknya, banyak orang percaya bahwa mereka tewas ditikam arwah-arwah pelindung Nguesso. Tak heran, ia dijuluki sebagai penguasa ilmu hitammanusia kebal, penyihir dari utara, keburukan absolut, dan sebagainya.

 

Apa yang terjadi di Kongo, sebetulnya tak asing-asing amat jika kita bandingkan dengan Indonesia. Tak usah jauh-jauh,tengok saja dunia politik kita satu dekade terakhir.

 

Menjelang pilpres 2014, Jokowi tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai capres di rumah si Pitung. Pada pemilu 2024, urusan bawa-bawa orang mati ini justru semakin kentara. Lihat saja bagaimana Anies Baswedan selalu Live TikTok di depan lukisan Pangeran Diponegoro. Prabowo yang tiba-tiba ziarah ke makam Kyai Hasyim Azharisebelum bertemu para petinggi Tebu Ireng. Atau Ganjar Pranowo yang dimitoskan pendukungnya sebagai keturunan Sunan Kalijaga.

 

Di tiap sudut dunia, orang-orang mati akan dibangunkan lagi dari kuburnya, demi melegitimasi kekuasaan.

 

Yang menjadi pertanyaan, apa benang merah dari semua orang mati tersebut? Jawabnya, mereka adalah nabi. Tetapi, bukankah nabi sudah tak ada lagi sejak Muhammad wafat?

 

KENABIAN TAK PERNAH USAI

 

Namun kenyataannya, nabi-nabi masih terus lahir. Tentu mereka tidak datang dari tradisi Islam. Hanya saja, konsep kenabian bukan eksklusif milik agama Abrahamik. Di semesta ini, ternyata ada banyak budaya yang mengenal konsep serupa.

 

Di Senegal misalnya, masyarakat dari provinsi Casamance mengenal seorang nabi perempuan bernama Alinesitoué Diatta. Ia lahir dari tradisi agama lokal bernama Awasena. Aline hidup di tahun 1940-an ketika Senegal tengah dijajah rezim Vichy Prancis.

 

Suatu hari, ia tiba-tiba terkapar dan kejang di tengah pasar. Di tengah warga yang mengerubunginya, ia seketika bangkit dan mengaku mendapat wahyu dari Emitai, Sang Tuhan. Kata Aline, Tuhan membisikinya bahwa padi yang diimpor dari Asia (oryza sativa) adalah haram. Sebaliknya, ia mewajibkan semua pengikutnya merawat padi lokal (oryza glaberima). Barang siapa tidak menaatinya, ia sedang mengkhianati jalan Awasena.

 

Akibat ajaran kenabiannya tersebut, penduduk Casamance mulai menentang perintah kolonial. Mereka berhenti menanam padi impor. Sebagai konsekuensinya, Aline lalu ditangkap karena dianggap berbahaya. Ia diasingkan di Mali dan disekap dalam sel yang sempit dan lembab, hingga gugur karena lepra.

 

Sejak itulah, namanya terus dikenang oleh penduduk Casamance sebagai simbol perlawanan terhadap otoritas kolonial. Namun, seperti nasib nabi-nabi lainnya, namanya juga kerap dicatut di tengah kontestasi kekuasaan. Salah satunya oleh Abdou Diouf, mantan presiden Senegal di tahun 1980-an.

 

Alinesitoué Diatta hanya satu dari ribuan nabi lain yang lahir di zaman kiwari. Kita masih bisa mengabsen deretan nama lain seperti Frédéric Bruly-Bouabre, Souleymane Kanté, André Ondo-Mba, Simon Kimbangu, André Matsoua, sampai Béatrice Kimpa Vita. Namun, mengapa mereka bisa disebut nabi? Dan mengapa pula sosok-sosok yang sudah kita sebut sebelumnya juga bisa disebut nabi, atau setidaknya, figur kenabian?

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok kembali definisi nabi menurut Max Weber dalam Sociology of Religion. Dalam buku tersebut, Weber menjelaskan bahwa nabi adalah manusia yang berfungsi sebagai jembatan antara suara Tuhan dengan manusia.

 

Yang menjadi pertanyaan, setiap orang tentu bisa mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Tetapi, mengapa sebagiannydianggap sakit jiwa seperti Lia Eden, sedangkan sebagiannya lagi dipercaya seperti Alinesitoué Diatta?

 

Di sinilah Weber menjelaskan bahwa seorang nabi setidaknya harus mempunyai tiga karakter.

 

Karakter pertama, dan yang paling umum, seorang nabi harus mempunyai kekuatan supranatural. Ibrahim kebal api, Musa bisa membelah lautan, dan Alinesitoué Diatta, konon bisa menurunkan hujan. Ingat pula cerita Si Pitung yang punya ilmu kebal atau keris Sunan Kalijaga yang bisa menangkap petir. Namun, menurut Weber, karakter ini justru yang paling tersierSebab di zaman dulu, kekuatan magis bukan hal yang istimewa-istimewa amat. Tak perlu menjadi nabi, dukun dan penyihir pun punya kekuatan adimanusia.

 

Karakter kedua adalah sifat karismatik. Seorang nabi biasanya mempunyai karakter individu tertentu, seperti fisik yang gagah atau kecerdasan di atas rata-rata, yang memberinya legitimasi untuk memerintah banyak orang. Figur karismatik ini mudah kita bayangkan pada sosok seperti Nzinga A Nkuwu atau Kyai Hasyim Azhari.

 

Sedangkan karakter ketiga, dan merupakan yang paling penting, adalah karakter revolusioner. Seorang nabi hanya bisa mendapat banyak pengikut, jika ia turun di zaman yang sedang hancur lebur, dan menawarkan ajaran tertentu yang tak umum di zamannya. Tengok saja bagaimana Yesus menawarkan nilai cinta kasih, di tengah masyarakat romawi yang militeristik dan gila maskulinitas. Atau André Matsoua dan Pangeran Diponegoro, yang dengan lantang berani menantang penjajah.

 

Semua nama yang sudah kita sebut tadi nyaris memiliki tiga spektrum kenabian weberian. Itulah kenapa, meski secara de jure mereka tidak disebut nabi, namun secara de facto mereka adalah sosok yang dinabikan, atau dengan kata lain, figur kenabian.

 

Dan seperti sudah disinggung di awal tulisan, meski mereka hanya benar-benar hidup selama puluhan tahun, mereka masih akan berkali-kali dibangkitkan ketika kekuasaan sedang membutuhkan.

 

Maka jangan heran, jika menjelang tahun-tahun politik, para pejabat akan rajin sowan ke makam wali atau hobi mengutip nama tokoh karismatik. Besar kemungkinan, mereka tidak sedang meneladaninya, melainkan menyeretnya menjadi timses.

 

 

NABI YANG MENJADI TUHAN

 

Namun, apa yang lebih berbahaya dari penguasa yang meminjam legitimasi kenabian? Jawabnya adalah penguasa yang telah menjadi nabi itu sendiri. Kita barangkali masih mengingat pernyataan Sujiwo Tejo, bahwa pemimpin yang otoriter mematikan nyali, dan pemimpin yang dinabikan mematikan nalar. Masalahnya, otoritarianisme dan kenabian adalah dua sisi mata uang. Di mana penguasa dinabikan, di situ ada kesewenang-wenangan.

 

Saya menyadari hal ini setelah membaca tulisan Roxana Bauduin yang meneliti tokoh Jean-Cœur-de-Père dalam novel La vie et demie (1979) karya Sony Labou Tansi. Dalam novel tersebut, Jean-Cœur-de-Père adalah presiden tiran yang berlumur darah. Ia digambarkan sebagai rezim teror yang mampu melacak, menangkap, dan menghabisi siapa pun yang berani menentangnya. Namun ironisnya, ia juga tokoh yang begitu dipuja. Ia, misalnya, dijuluki “le père de la nation et de son peuple (Bapak Negara dan Bangsa)” dan “le commandant en chef de l’amour et de la fraternité (Komandan Tertinggi Cinta dan Persaudaraan)” oleh para pengagumnya.

 

Bauduin kemudian menyimpulkan bahwa Jean-Cœur-de-Père adalah alusi dari penguasa yang perlahan berubah menjadi nabi, lalu menjelma seperti tuhan. Mengapa seperti tuhan? Sebab di satu sisi, ia adalah kekuatan yang bisa menghukum dan mengancam. Namun di saat bersamaan, ia juga bisa menjamin kehidupan yang lega. Tentu bagi yang sudi menurutinya.

 

Argumen Bauduin juga mengingatkan saya pada tuhan-tuhan palsu dalam novel  distopia, yang selalu merepresentasikan tiga sifat ketuhanan, yaitu omnipresent (ada dimana-mana), omnipotent (kekuatan tak terbatas), serta omniscienct (tahu segalanya). Kita bisa menemukan tiga karakter tersebut, misalnya, dalam tokoh Big Brother dalam novel 1984 karya George Orwell, atau barangkali tokoh Pak Lurah dalam novel Tangan Kotor di Balik Layar karya Puthut EA. Dalam novel tersebut, mereka adalah sosok yang tak pernah benar-benar muncul, tetapi seolah selalu mengawasi, mengontrol, dan mengancam Winston Smith dan Hamam—dua tokoh utama. Ironisnya, kita tak pernah sepenuhnya tahu bagaimana kekuatan maha besar—yang sebetulnya aparatus represif dan ideologi negara—itu bekerja. Yang jelas, setiap bentuk pembangkangan terhadapnya, hanya akan membawa dua tokoh utama kita pada nasib celaka.

 

Jika menengok realitas ekstratekstual, kita tentu akan lebih mudah membayangkan siapa saja raja yang telah berubah menjadi nabi, lalu berevolusi menjadi tuhan. Ia tak melulu sangar seperti Denis Sassou Nguesso atau Idi Amin Dada. Beberapa justru tampak sederhana, murah senyum, dan sayang keluarga. Tapi awas, jangan sekali-kali cari masalah. Sebab, setiap kekuasaan yang telah bersetubuh dengan kenabian, hanya akan melahirkan kekerasan.

 

Yogyakarta, 29 Juli 2024

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Auge, Marc. (1975). Théorie des pouvoirs et idéologie. Étude de cas en Côte-d'Ivoire. Paris: Hermann

 

Balandier. Georges. (1953). Messianismes et Nationalismes en Afrique NoireLes Cahiers internationaux de sociologie, vol. 14ParisLes Presses universitaires de France

 

Bauduin, Roxana. (2015). Le prophétisme dans les romans de Sony Labou Tansi, entre magie du verbe et imposture des êtresProphétismes ou discours de l’entre-deux voixParis: Presses Sorbonne Nouvelle

 

Baum, Robert M. (2015). West Africa’s Women of God: Alinesitoué and the Diola Prophétic TraditionIndianaIndiana University Press

 

Diop, Boubacar Boris. (1980). Les tambours de la mémoire. Paris : Harmattan

 

Dongala, Emmanuel Boundzéki. (2011). Les petits garçons naissent aussi des étoilesMonaco: Rocher

 

EA, Puthut. (2024). Tangan Kotor di Balik Layar. Yogyakarta: Shiramedia

 

Fibrianto, Didik. (2023). Prabowo Nyekar Dan Masuk kamar KH Hasyim Asy’ari di Ponpes Tebuireng jombang. Available at: https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1046002/prabowo-nyekar-dan-masuk-kamar-kh-hasyim-asyari-di-ponpes-tebuireng-jombang (Accessed: 29 July 2024)

 

Gruénais, M.-E., Mouanda Mbambi, F., & Tonda, J. (1995). Messies, fétiches et lutte de pouvoirs entre les « grands hommes » du Congo démocratique. Cahiers d’études Africaines, 35(137). https://doi.org/10.3406/cea.1995.2029

 

Harris, Marvin. (2019). Sapi, Babi, Perang, dan Tukang SihirTangerang Selatan: Marjin Kiri.

 

Kadari, Louiza & Leroux, Pierre. (2015). IntroductionProphétismes ou discours de l’entre-deux voixParis: Presses Sorbonne Nouvelle.

 

Maksum, Ibnu. (2023). Sederek Ganjar: Keturunan Sunan Kalijaga, Nasab Ganjar Bisa Sampai rasulullah. Available at: https://suaranasional.com/2023/05/16/sederek-ganjar-keturunan-sunan-kalijaga-nasab-ganjar-bisa-sampai-rasulullah/#google_vignette (Accessed: 29 July 2024).

 

Moukoko, Phillipe. (1999). Dictionnaire génerale du Congo-Brazzaville. Paris: Harmattan

 

Orwell, George. (1949). 1984. Penguin Classics

 

Sufa, Ira Guslina. (2014). Makna tersirat Deklarasi Jokowi di Rumah Pitung. Tempo. Available at: https://nasional.tempo.co/read/562418/makna-tersirat-deklarasi-jokowi-di-rumah-pitung (Accessed: 29 July 2024).

 

Tansi, Sony Labou. (1979) La vie et demieParis: Seuil.

 

Toliver-Diallo, Wilmetta J. (2005). The Woman Who Was More than a Man : Making Aline Sitoe Diatta into a National Heroine in Senegal. Canadian Journal of African Studies Vol. 39, No. 2.

 

Weber, Max. (2006). Sociologie de la religion. ParisFlammarion