Paman Sekamana dan Sisi Terang Gelap Rwanda

Di penghujung tahun 2018, Bapak Junjungan Umat Kampret Indonesia, Prabowo Subianto, mengeluarkan pernyataan sembrono yang segera saja jadi bola panas terutama di kalangan Umat Cebong. Pernyataan itu kurang lebih berbunyi bahwa tingkat ekonomi negara kita setingkat dengan Haiti dan Rwanda, dua negara di Benua Afrika yang menurutnya tak pernah kita kenal dan ketahui letaknya.
Segera setelah pernyataan itu meluncur, para cebong pun ramai-ramai menyebut Prabowo idiot dengan alasan: Haiti berbeda dengan Rwanda karena Haiti terletak di kepulauan Karibia, sedang Rwanda di Afrika.
Lalu waktu lewat begitu saja. Perdebatan soal Haiti-Rwanda hilang tak berbekas. Umat Indonesia, baik cebong maupun kampret, beralih ke perdebatan yang malah makin ampas, dari tata cara bersuci yang benar sampai lafadz Allah di atas jidat.
Berbicara soal Rwanda, beberapa waktu lalu ketika sedang berada di Srilanka saya berkenalan dengan seorang dari negara tersebut bernama Janvier Sekamana. Kebetulan saat itu kami adalah sesama presentator di sebuah forum internasional yang membahas model pembangunan desa.
Kami bertemu ketika sedang jamuan makan siang di salah satu restoran di Kolombo. Saat itu di bawah cuaca Srilanka yang terik, ia memakai jas abu-abu gelap. Sebab merasa gerah, ia pun membuka seluruh kancing jasnya dan menampakkan dalaman kaos putih bergambar seorang tokoh yang nampak tak asing bagi saya. Melihat sosok di kaos itu, saya pun menyapanya terlebih dahulu.
“Vous devez être vraiment fier de votre présidentJe le connais. Paul Kagamen’est-ce pas?”. Anda pasti sangat bangga dengan Presiden anda. Saya tahu siapa foto orang di kaos anda. Paul Kagame, bukan?
Seperti sudah saya duga, ia terperangah mendengar saya mengenal sosok tersebut. Lebih-lebih, ketika saya mengatakannya dengan bahasa Prancis.
Kemudian sebelum sempat membahas tentang sosok di kaosnya, kami pun saling berkenalan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai pendamping desa di salah satu distrik di Kigali, sementara saya bercerita perihal 4 tahun kuliah sastra Prancis.
“Belajar Bahasa asing  di negeri sendiri membuat saya jarang berinteraksi dengan penutur aslijadi mohon maaf jika bahasa prancis saya remuk redam”, ujar saya seraya mengharap ia memaklumi kalau sesekali saya membuka kamus daring.
Berawal dari perkenalan tersebut, selama 3 hari berikutnya kami jadi sering terlibat dalam obrolan. Obrolan kami lebih banyak membahas tentang negaranya, Rwanda. Tapi tak jarang pula saya bercerita padanya tentang Indonesia dan mencoba membandingkan beberapa hal di antara kami.
Lewat perbincangan dengan Paman Sekamana lah, banyak sekali hal baru yang saya tahu tentang negara tersebut. Dan dari situlah, saya menyimpulkan bahwa saya perlu menuliskan beberapa perihal dalam obrolan kami tentang Rwanda. Sebab, selain penting untuk bahan permenungan, saya yakin bahwa orang-orang yang sama sekali tak tahu tentang Rwanda adalah orang yang merugi, kalau bukan udik.

GELAP

Ketika berbicara tentang Rwanda, orang akan selalu menyebut untuk pertama kali tentang Genosida 1994. Tragedi yang membantai dan menewaskan lebih dari 800.000 orang ini pun menjadi tema di banyak film tentang Rwanda seperti Hotel Rwanda (2004) atau Sometimes in April (2005).
Genosida ini berakar dari konflik antar suku, yaitu suku Tutsi yang merupakan minoritas dan suku Hutu yang merupakan mayoritas. Konflik ini bermula ketika Rwanda masih berada di bawah jajahan Belgia. Kala itu Belgia sebagaimana bajingan kolonial lainnya menerapkan politik adu domba—divide et impera—dengan cara mendudukkan orang-orang dari suku Tutsi di jabatan-jabatan penting pemerintahan. Hal ini memicu dengki bagi suku Hutu yang merasa lebih berhak mendapat porsi kekuasaan karena mereka adalah mayoritas. 
Kecemburuan ini menjadi bom waktu ketika akhirnya Rwanda merdeka pada 1962. Suku Hutu yang merasa digencet dan diperkuda di masa lalu merasa berhak membalaskan dendamnya pada suku Tutsi. Maka sepanjang 1962-1994, rasa benci itu penaka eceng gondok di atas air keruh. Perlahan tumbuh, semakin subur, berjebah, dan tak terkontrol.
Puncaknya terjadi pada tanggal 6 April 1994. Hari itu, Presiden Juvenal Habyarimana—yang mempunyai visi mempersatukan semua suku—tewas setelah pesawat yang ia tumpangi ditembak rudal oleh kelompok pemberontak saat hendak mendarat di Bandara Internasional Kigali.
Dengan kosongnya kekuasaan itulah, beberapa pihak memanfaatkan situasi. Mereka mengkonfrontasi suku Hutu untuk mulai membalaskan dendamnya dengan membunuh siapapun cockroach—julukan untuk orang Tutsi—yang mereka temui.
Maka, dalam tempo kurang dari 100 hari, Rwanda menjadi palagan yang lebih mengerikan daripada neraka. Satu per satu orang dibelasah dan disembelih. Rwanda menjadi kubangan darah dengan mayat-mayat Tutsi yang bertumpuk hingga menutupi jalan. Anyir. Dengan kepala buntung, dan organ tubuh pating berceceran.
Paman Sekamana berusia 23 tahun saat pembantaian itu terjadi. Usianya hampir sama seperti saya sekarang. Ujarnya, ia adalah saksi hidup yang melihat langsung bagaimana leher manusia digorok di tempat yang seharusnya menjadi tempat paling suci: gereja.
Kala itu, gereja adalah tujuan utama bagi orang-orang yang lari bersembunyi. Orang-orang barangkali mengira bahwa di dalam rumah Ilah, setan tak bisa bernafas sehingga manusia-manusia paling beringas pun tak akan mengokang senjatanya. Tapi dugaan itu sepenuhnya keliru. Sebab, di dalam gereja lah pembantaian justru paling mangkus. Dengan beberapa berondong peluru, ajal datang sekaligus. Begitulah kematian demi kematian terjadi. Di antara dinding kapel yang dingin. Di bawah salib yang menjadi merah.
Setelah mendengar kisah tersebut, saya lantas memberondongi Paman Sekamana dengan pelbagai pertanyaan.
“Jadi karena Anda selamat, maka Anda seorang Hutu ?”.
«  Non ». Bukan.
“Tutsi ?!”
« Non plus ». Bukan pula.
“Jadi, bagaimana Anda masih waras sampai sekarang?”.
Ia nyengir, mengeluarkan suara tawa kecil dan memperlihatkan giginya yang seputih kapur, « Ma mère est Tutsi, mon pêre est Hutu. Si votre père est Hutu, il pouvait sauver toute votre famille » Ibuku Tutsi, ayahku Hutu. Jika ayahmu seorang Hutu, maka ia bisa menyelamatkan seisi keluargamu.
“Paman, dari film-fim yang saya tonton, saya kira orang Tutsi sedikit lebih berkulit terang daripada Hutu yang lebih legam. Jadi, para jagal itu membedakan suku dengan menebak warna kulit ya?”
“Tidak sama sekali. Orang Rwanda bahkan tak bisa membedakan mana Hutu mana Tutsi. Kami sangat mirip. Nyaris sama. Kala itu jika kau seorang Hutu tapi kau lupa membawa KTP, sudah pasti nyawamu juga akan melayang”.
Ia lalu mengambil dompet hitam dari sakunya, mengeluarkan selembar kartu identitas berwarna biru laut, menyerahkannya pada saya, dan meminta saya mengamatinya.
Kartu Tanda Penduduk Rwanda.
Isi kolom: nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, tanda tangan, nomor KTP.
Saya tak tahu apa yang ingin ia tunjukkan pada saya. Sejauh pengamatan, KTP ini tak nampak beda dengan KTP Indonesia kecuali dalam hal bahasa.
Alors?” Jadi intinya apa?.
Lalu ia menjelaskan, “24 tahun lalu, ada 1 kolom tentang identitas ras apakah kamu seorang Hutu atau Tutsi. Tapi kolom jahanam itu kini sudah hilang. Kau tahu siapa yang melenyapkannya? Ia adalah orang yang sama dengan orang yang menghentikan genosida Rwanda.”
Paman Sekamana lalu berdeham, sedikit membusungkan dadanya, sembari dengan raut penuh bangga menunjuk gambar di atas kaos putihnya “Presiden Paul Kagame”.
TERANG
“Today, Rwanda is the land of hope, not hatred”.
Paman Sekamana mengatakan hal tersebut sebelum menceritakan satu per satu perubahan yang terjadi di Rwanda selama 2 dekade terakhir—sejak Kagame menjadi presiden.
Ketika menceritakan Paul Kagame, Paman Sekamana bisa sampai berbusa-busa. Ia pertama menjelaskan bahwa berkat Kagame negaranya kini dijuluki “Singapore de l’Afrique”. Singapura-nya Afrika.
“Seperti Singapore, negara kami kecil dan sumber alam kami pas-pasan. Lebih buruknya, kami bahkan tak punya laut”.
Tapi Paul Kagame menciptakan gelombang perubahan besar terutama di bidang ekonomi. Ia mulai membangun sekolah, rumah sakit, bandara, dan jalan raya yang menghubungkan distrik dengan distrik. Ia membuka lahan jagung seluas-luasnya dan membangun pabrik jagung pertama. Ia juga mencanangkan program “1 Sapi, 1 Keluarga” yang membuat Rwanda kini jadi negara pengekspor ternak tersebut. Singkatnya, ia begitu cerdas dan kreatif dalam memaksimalkan sumber daya yang terbatas. GDP Rwanda yang jatuh dari angka 1,6 Milyar menjadi 450 Juta Euro pada 1994, kini kembali mencapai angka 4,4 M Euro. Tingkat perkembangan ekonomi Rwanda setiap tahunnya mencapai angka 7 hingga 8 persen.
Kreativitas Kagame juga tak berhenti pada program peningkatan ekonomi saja. Ia menjadikan negaranya sebagaimana negeri yang diimpikan kaum feminis: Rwanda menjadi negara dengan persentase tertinggi di dunia untuk anggota perempuan di parlemennya (68%). Dalam hal kesetaraan gender di bidang politik, Rwanda bisa mengungguli negara macam Denmark, Swedia, atau Canada.
Salah satu perubahan besar di Rwanda yang paling kerap dibicarakan dunia saat ini adalah kebijakannya di bidang lingkungan. Beberapa terobosan dilakukan pemerintah Kagame misalnya dengan melarang penggunaan tas plastik sejak 2008. Sebagai solusi atas pelarangan ini, pemerintah Rwanda membuka keran investasi bagi pengusaha kreatif yang mau menjadi produsen tas dari kain, kertas, atau daun pisang. Selain itu, Rwanda juga menggalakkan program penghijauan dengan misi menutupi 30 persen daratannya dengan hutan hijau. Hutan hijau ini kemudian disulap menjadi cagar alam atau taman nasional. Berkat usahanya membuka taman nasional Nyungwe, Gishwati, Mukura, dan Rugezi, Rwanda mendapat penghargaan Green Globe Award pada 2010.
Saya kira sangat jarang sebuah negara berkembang peduli amat dengan isu lingkungan. Tapi Rwanda membuktikan bahwa dengan komitmen penuh di bidang lingkungan, Rwanda bisa menciptakan perubahan besar. Salah satu perubahan besar itu bisa dilihat dari Kigali, Ibu kota Rwanda, yang kini dijuluki sebagai kota paling bersih di Afrika.
Seandainya kau punya sedikit waktu, cobalah meluncur ke youtube dan ketikkan kata kunci “Kigali”. Niscaya, kata kunci itu secara otomatis akan diikuti beragam embel-embel macam “the cleanest” atau “the safest” city in Africa. Selanjutnya, kau bisa membuka satu demi satu video itu dan melihat bagaimana sebuah kota di negeri “tak dikenal” itu, sepatutnya membuat warga Indonesia—apalagi orang Jakarta—tutup muka. Kigali adalah kota yang resik. Sangat resik. Pepohonan ditanam dengan rindang, trotoar menjadi tempat titian kaki yang bikin warga bungah, petugas kebersihan maupun warga sipil bisa bekerja sama mewujudkan kota yang nyaman dipandang.
Jempolan sekali bukan?

TERANG ATAU GELAP?

Rwanda hari ini adalah negara di benua hitam yang paling kerap menjadi perbincangan dunia internasional. Kendati demikian, perbincangan itu tak melulu berisi puja-puji atas keberhasilan mereka di bidang ekonomi. Sebab nyatanya, Rwanda juga kerap disinggung atas problematikanya di bidang politik. 
Di hari terakhir ketika berada di Srilanka, saya melemparkan pertanyaan yang saya kira cukup sensitif. Pertanyaan itu berkisar pada isu demokrasi di Rwanda yang kerap dipermasalahkan terutama oleh orang-orang Barat.
Tak sedikit orang yang menyebut Paul Kagame sebagai diktator. Panggilan diktator yang disematkan padanya semakin gencar seiring dengan duduknya kembali Kagame di kursi presiden untuk periode ketiganya. Padahal di konstitusi Rwanda, seorang presiden hanya bisa memimpin selama dua periode di mana tiap periode berjalan tujuh tahun. Tapi, konstitusi tersebut diubah sebelum pemilu 2017. Dalam aturan baru yang dibuat, presiden boleh memimpin negara selama 3 periode. Perubahan ini tentu menguntungkan Kagame yang akhirnya bisa melenggang kembali ke kursi empuk kekuasaan sampai 7 tahun ke depan.
Sejauh perbincangan kami dalam dua hari sebelumnya, saya mengenal Paman Sekamana sebagai seorang yang cukup fanatik pada Kagame. Untuk menanyakan perihal yang buruk tentang hal yang disukai seseorang, kita perlu menunggu waktu yang tepat atau lebih baik diam sama sekali. Tapi saat itu kami sedang minum teh Ceylon, teh khas Srilanka dengan komposisi teh hitam bercampur kelopak bunga kering berwarna ungu yang aromanya begitu semerbak dan menenangkan. Lalu sambil menyesap perlahan teh itu, akhirnya saya memberanikan diri bertanya perihal Kagame dan demokrasi.
“Paman, mohon maaf jika saya menyinggung. Tapi bagaimana dengan Demokrasi di Rwanda? Bukankah beberapa pihak memanggil Kagame sebagai presiden otoriter?
 “Bagus, laissez-moi vous répondre. De peu un peu. Mari kita jawab sedikit demi sedikit”, ujarnya.
Kemudian ia meminum tehnya dengan cara menenggak, sebelum memberikan jawaban yang justru disesaki pertanyaan.
“Jika benar Kagame diktator, mengapa ia menang pemilu dengan perolehan 99% suara? Let me tell you, Kagame telah mengubah Rwanda. Angka kemiskinan turun, angka kematian bayi turun, begitu pula dengan angka buta huruf. Jika rakyat mencintainya lalu ia memimpin lagi, kenapa ia dipanggil diktator? Lagipula, apa itu demokrasi? Siapa yang mengharuskan negara demokrasi hanya dipimpin 10 tahun? Apakah lagi-lagi, kita harus mengekor pada bangsa oksidental?”.
“Paman, tapi saya pernah membaca artikel tentang betapa bahaya mengkritik Kagame bagi orang Rwanda. Patrick Karegeya, mantan intel negara Anda yang banting setir jadi pengkritik pemerintah, bahkan tewas dengan berondongan peluru. Lalu bagaimana pula dengan 8 wartawan yang hilang? Apa sebegitu penting kesuksesan ekonomi dibanding penghargaan pada kebebasan?”.
Saya mengeluarkan pernyataan itu sambil menceritakan tentang sejarah Indonesia 32 tahun di bawah rezim Soeharto. Seperti halnya Kagame, Soeharto juga presiden yang “dicintai” rakyatnya. Tapi “cinta” itu tidak hadir begitu saja melainkan bertunas dari kemampuan rezim Soeharto menjejali rakyatnya dengan jargon-jargon penuh propaganda. Ia, dengan instrumen kekuasaan yang dimilikinya, secara sistematis telah menghegemoni rakyatnya untuk menasbihkan dirinya sebagai “Bapak Pembangunan Nasional”. 
Mendengar cerita saya, Paman Sekamana tetap bersikukuh bahwa Kagame adalah presiden yang benar-benar dicintai rakyatnya. Keyakinan Paman Sekamana semakin bertambah setelah mendengar cerita saya tentang genosida ’65 dan bagaimana langkah Soeharto atas tragedi itu. Dalam narasi yang dibangun Soeharto dan terus dirawat hingga rezim ini, genosida ’65 masih berhenti pada narasi biner hitam-putih. Semua yang berhubungan dengan PKI—meskipun hanya hubungan darah—adalah penjahat, sementara yang tidak adalah korban. 
“Presiden Rwanda menyelesaikan genosida. Presiden negara Anda jadi dalangnya. Presiden kami melawan phobia, presiden Indonesia merawatnya”, ujarnya dengan mantap.
Lelaki bertubuh jangkung itu sejenak kemudian menceritakan pada saya tentang rekonsiliasi konflik genosida yang pernah dilakukan Kagame untuk mendamaikan hubungan antara Hutu dan Tutsi.
Pada tahun 2002, Rwanda misalnya menginisiasi sebuah sistem peradilan yang disebutgacaca. Gacaca adalah program yang ditujukan pada puluhan ribu jagal yang ditetapkan sebagai tersangka genosida ’94.
Dalam gacaca, para tersangka pada awalnya diminta untuk mengakui kejahatannya. Mereka yang bersedia melakukan pengakuan, kemudian akan mendapat remisi. Setelah keluar dari tahanan, mereka juga harus melakukan kerja sosial di lingkungan di mana mereka dulu pernah berbuat kejahatan. Artinya, mereka tak sekadar saling memaafkan, tetapi juga harus menjalani kehidupan bersama. Menurut pemerintah Rwanda, gacaca telah merekonsiliasi lebih dari 1,9 juta kasus.
Selain gacaca, Rwanda juga menetapkan tanggal 7 April setiap tahunnya sebagai kwibuka,yaitu hari mengenang tragedi ’94. Pada saat kwibuka, ada seremoni di mana suku Hutu dan Tutsi saling bertemu, saling memaafkan, lalu berbagi santapan. Selama 100 hari setelah 7 April, Rwanda juga mengajak warganya baik Hutu maupun Tutsi untuk bersama-sama mengunjungi urwibutso, sebuah monumen untuk mengenang para korban genosida.
Selain itu, terobosan paling penting dari pemerintahan Kagame adalah menghapuskan kolom suku di KTP Rwanda yang sudah bertahan sejak awal masa kolonialisme. Sebab menurut Kagame, tak penting lagi apakah seorang terlahir sebagai Hutu atau Tutsi, selama mereka lahir atau hidup di Rwanda maka mereka adalah rakyat Rwanda.
Cerita gacaca dan kwibuka itulah yang membuat saya mulai memahami perbedaan antara Soeharto dengan Kagame. Bahkan lebih jauh, perbedaan Rwanda dengan Indonesia.
Indonesia hingga detik ini selalu menolak untuk bicara tentang genosida ’65. Setiap kali kita buka mulut tentang tragedi ’65, pemerintah akan meninggikan suara: masa lalu untuk apa diungkit-ungkit terus, ayo move on! Atau yang lebih sering: Ngapain sih terus-terusan membuka luka lama?
Sementara itu, Rwanda justru menjadikan genosida ’94 sebagai tema yang selalu jadi pembahasan, dengan tujuan utama mewujudkan rekonsiliasi dan permaafan bagi semua rakyat. Ada usaha serius dari pemerintah Rwanda untuk menjadikan pengalaman buruknya sebagai pelajaran, sementara kita selalu menampik bahwa ada borok yang mesti segera diobati.
Saya percaya bahwa pemerintah yang baik mengajak rakyatnya saling memaafkan, sementara pemerintah yang buruk membiarkan rakyatnya dihantui rasa bersalah. Dalam hal ini, kita benar-benar harus belajar dari Rwanda.
Di masa depan, Indonesia mungkin bisa punya mobil buatan sendiri. Merk Esemka, Esempe, atau bahkan Emtees. Dalam beberapa dekade ke depan, bukan tak mungkin Iron Man Indonesia benar-benar ada: Dengan lilitan kabel yang ditempelkan ke dua sisi pelipis, seorang lumpuh bisa menggerakkan kaki atau tangannya. Saya bahkan optimis jika suatu hari Indonesia akan menemukan bahan bakar ramah lingkungan entah dari pohon jarak, atau kecapi, atau kedondong yang menjadi solusi permasalahan energi dunia.
Satu-satunya hal yang tidak pernah saya percaya adalah jika suatu hari Indonesia paham betapa berharganya nilai sebuah pengakuan dan permaafan.

[Terjemahan] Kereta Hantu - Emmanuel Boundzéki Dongala

Matahari ! Sinar matahari sedang silau betul saat aku keluar dari lab. Hari yang terik pada musim panas di New York dengan pohon-pohon, daun-daun hijau, udara lembab, juga asap yang membumbung tinggi dari gedung-gedung pencakar langit dan membuat langit tampak muram. Aku sebenarnya punya hasrat konyol untuk berjingkrak-jingkrak dari lab sampai Stasiun Central Park, tapi aku tak punya banyak waktu. Kerja. Kereta. Persimpangan jalan. Lampu lalu lintas masih hijau dan aku belum bisa menyeberang. Baris demi baris mobil perlahan-lahan melewatiku. Darah kehidupan mengalir sepanjang arteri makadam. Sinar matahari memantul di kaca depan sebuah mobil dan membuatku silau. Ah, kalau saja aku punya kacamata hitam seperti para penjaga bioskop ituO.K kids, hands up! Para polisi nampak menggelikan dengan tongkat lalinnya. Seorang pria Irlandia bertubuh kekar terus mengunyah permen karet. Lampu merah. Dan aku mulai menyeberang. Loket stasiun. Antrian mengular seperti sering terjadi pada jam-jam sibuk. Seorang nenek-nenek di depanku mengeluarkan beberapa keping receh dari sakunya dan salah satunya jatuh. Ia tampak sedih melihat koinnya menggelinding lalu lenyap di antara kaki orang-orang. Aku tersenyum. Kini giliranku. Petugas loket langsung meminta 2 keping 10 sen tanpa senyum sedikitpunKubalas sikap tak acuhnya dengan pergibegitu saja tanpa terima kasih. Aku turun tangga dan kuikuti petunjuk arah menuju pusat stasiun. Semakin turun, keadaan semakin gelap. Aku sempat berhenti beberapa kali supaya mataku terbiasa dengan gelap. Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh kereta yang entah menuju mana. Akhirnya aku tiba di peron. Ada tiga bangku dan dua gadis sedang duduk di salah satu bangku tersebut. Dengan sengaja, aku duduk tepat di sebelah gadis pirang yang paling cantik; dia cuek. Aku pun pindah ke bangku sebelahnya, mengambil jarak dan menatapnya sejenak lalu berusaha melempar senyumku yang paling manis. Sia-sia! Demi apapun aku tak sukagadis blonde, aku lebih suka yang brunette! Sudahlah. Stasiun tampak begitu dekil: puntung rokok, kertas-kertas koran, tutup dan botol bir, semua berserakan. Kulihat sekeliling dan kubaca sebuah peringatan di dinding “Dilarang Meludah”. Mendadak aku langsung ingin meludahinya. Sebuah mesin minuman kaleng memampang tulisan “Pingin gaul? Minum Coca-cola !” Hmm… Tak terasa stasiun menjadi penuh sesak. Seorang nenek-nenek usia 80 atau 90-an berdiri tepat di depanku. Tubuh bungkuknya yang disangga tongkat tampak begitu lelah dan ringkih. Ia menyeringai padaku dengan gigi mulus ompong. Sungguh mengerikan! Aku bangkit dari tempat duduk dan menawarkan tempatku pada seorang gadis cantik nan pirang yang berdiri persis di sebelah nenek tua tadi. Aku sungguh suka cewek, terutama cewek blondeIa awalnya menolak namun akhirnya mau juga. Oh wanita, tak pernah “iya” pada saat pertama. La donna è mobile! (Wanita sungguh membingungkan!). Kupandangi lagi sekeliling dan kuperhatikan dinding-dinding sepanjang stasiun. Dimana-mana ada reklame dan grafiti. Mataku rabun sehingga tak bisa membaca tulisan-tulisan itu dengan jelas; aku mendekat dan membaca salah satunya “Mending jadi komunis daripada kawin!”. LucuAku mulai lelah, bosan, dan jengkel. Aku kembali mendekat ke arah bangku namun sepatuku tak sengaja menginjak permen karet dan aku nyaris terjungkal. Kugosok-gosokkan sepatuku ke lantai tapi permen karet itu tak mau lepas. Menjijikkan.  Aku kembali mendekat ke bangku. Gadis pirang tadi menoleh ke arahku; aku tersenyum padanya. Namun ia bergeming. Apa dia sudah lupa aku?!? Sungguh, aku benci wanita, terutama wanita blonde! Tepat saat itu lah, seseorang ujug-ujug bertanya, “Eh bung, kereta ini ke arah mana ya?” “Ke Neraka bos,” jawabku. Ia jengkel dan mengumpat: bajingan. Bodo amat lah, pikirku. Sekarang stasiun benar-benar penuh. Gerah. Ternyata New York segerah ini di musim panas. Aku kembali berjalan dengan dua tangan kumasukkan dalam saku. Sebuah kaleng Coca-cola kosong tergeletak di depanku. Aku sepak ia sekencangmungkin. Kaleng itu berkelontangan. Saat itulah orang-orang menoleh ke arahku, memperhatikanku: akhirnya aku ada! Orang-orang aneh, entah yang berkacamata atau tidak. Tak ada dari mereka yang kukenal, dan sebenarnya aku juga tak peduli. Biarkan aku menyukai sembarang orang, kebebasan, demokrasi, sosialisme, keadilan, dan sebagainya, dan  sebagainya. Oke, aku akan mendekat ke mesin Coca-cola dan siap menjadi gaul. Mereka kembali melirikku. Aku sungguh suka orang New York, mereka memang jempolan, aku bahkan siap mampus demi mereka. Kuambil sekeping koin 10 sen dan kumasukkan ke lubang mesin sebelum memencet tombol. Sebuah paper cup terlepas dan mulai terisi Coca-cola. Sial, kereta datang! Aku tergesa dan meninggalkan Coca-Cola-ku begitu saja. Orang gaul berikutnya akan dapat minuman gratis! Ada barang gratis di Amerika! Sebentar lagi, seseorang akan berpikir dunia sungguh menakjubkan! Pintu kereta terbuka. Kereta yang tadi lengang mendadak penuh sesak. Kami berdesakan dengan kacau, saling tendang, saling sikat, saling sikut. Voilà, beginilah orang New York dan aku benci sekali pada mereka! Mereka selalu berebut tempat untuk kepentingannya sendiri. Pintu kereta tertutup. Berangkat. Kereta tiba-tiba menghentak dan membuatku terlempar ke belakang, membuat orang-orang di depanku ikut jatuh menindihku. Sembari berusaha menemukan lagi keseimbangan, aku berpapas muka dengan seorang gadis (lagi-lagi) blonde. Aku mengernyit padanya tanpa memberikan senyum. Aku mendekat, mencuri kesempatan sebisa mungkin untuk menyenggol teteknya yang menyembul. Goncangan kereta lagi-lagi membuatku terlempar mundur dan saat aku kembali ke posisi tadi, tiba-tiba sudah ada orang berdiri di antara kami. Ah, selalu saja ada yang menyempil di antara kita dan hal yang paling kita sukai di dunia. “C’est la vie”, “begitulah hidup”, kata orang Prancis. Seseorang menghujamkan sikunya ke jidatku, sedang yang lain menjotos lambungku. Seorang tentara meremukkan jempol kakiku dengan pantofelnya. Kutatap ia tajam-tajam dengan raut murka: ia berbisik minta maaf namun jelas hanya basa-basi. Seorang jagoan di depanku mencoba membaca koran. Oh, si maha akrobat! Orang-orang mendorong, memepet, menyikutnya, namun ia tak peduli dan tetap membaca. Seorang wanita paruh baya berbadan gendut ngorok di tempat duduknya dengan mulut melompong; tubuhnya berpeluh keringat. Aku benar-benar benci cewek gendut, terutama yang tidur di métro dengan mulut melompong. Aku makin merasa gerah. Lelaki di depanku berbau busuk dan seisi dunia mendadak ikut busuk. Aku berbalik, mengamankan hidungku ke arah lain. Kini aku bertatap muka dengan seorang lelaki berwajah mengesankan: seorang badut. Ia pasti seorang aktor atau pelawak atau apalah. Keringat mengalir di dahi, pipi, dan mulutnya dan melelehkan make upmascara, cat merah, cat hijau, dan cat putihnya. Wajahnya yang warna-warni terasa begitu ganjil. Seperti apa wajah aslinya? Yang terlihat hanya bulu matanya; Kedua sayap hidungnya kembang kempis butuh udara. Apa dia akan mati lemas? Ia menatapku, aku bergidik melihat topengnya. Topeng kematian. Ia menginginkanku. Tapi aku masih mau hidup. Keringatku mengalir deras dan semakin deras. Bunyi rel menderit, lampu kereta mati, hidup lagi, mati lagi. Topeng itu kembali menatapku tajam seolah ingin menyeret, menyerapku dalam ketiadaan. Aku coba memejamkan mata, tidak, aku tak bisa melihat lagi. Kereta ini berputar, aku ketakutan, kereta ini cepat sekali, ini kereta hantu, ia tak berhenti, tak mau berhenti, terus terjun dalam lingkaran, berputar, berputar, berputar…

***
 
Judul Asli: Mon Métro Phantôme
 
Penulis: Emmanuel B Dongala
 
Bahasa sumber: Prancis
 
Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et vin de palme
 
Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Kongo. Cerpen Mon Métro Phantôme menggambarkan keterasingan yang dialami imigran kulit hitam di Amerika, di tengah arus modernisasi dan stereotip yang melekat padanya. Cerpen yang diceritakan dengan gaya orang mengoceh ini terdapat dalam kumpulan cerpen Jazz et Vin de Palme (1982). Kumcer ini terbit ketika Kongo masih berada di bawah kekuasaan rezim Marxist-Leninist otoritarian dan sempat dilarang di negaranya karena isinya yang satir dan penuh olok-olok pada rezim tersebut.
 
Sumber:
Dongala, Emmanuel Boundzeki. 1982. Jazz et Vin de Palme. Paris: Hatier

[Terjemahan] Upacara - Emmanuel Boundzéki Dongala

Aku, kau tahu, adalah militan rendah hati yang bisa menunjukkan laku hidup teladan, baik dalam urusan publik maupun pribadi.
 
Upacara seharusnya dimulai tepat pukul 9, tapi aku sudah berada di lapangan sejak pukul 07.30. Jujur saja, aku akan sangat senang jika Sekjen Serikat Buruh menyadari keberadaanku yang sudah siap di tempat sebelum seorang pun datang: siap memberi hormat pada bendera merah yang berkibar, menyeka debu di atas foto pemimpin abadi kami—yang terbunuh dengan biadab oleh kaum imperialis iblis dan antek-anteknya—, atau mengelap kursi sandar yang nanti akan diduduki bokong revolusioner Presiden Komite Pusat Partai Tunggal, Presiden Republik Kongo, Kepala Negara, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer, kawan seperjuangan cum suksesor pemimpin abadi kami—yang, sekali lagi, terbunuh oleh para pengecut!
 
Namun bagaimana jika Tuan Sekjen tidak menyadari kehadiranku? Tidak, aku tak akan kesal ; Pada dasarnya, aku datang paling awal karena aku seorang militan sejati. Lagi pula, aku juga akan mendaftar ke Partai. Oh ya, dan tentu saja, aku sangat setuju dengan berita radio yang menyatakan upacara ini sebagai peristiwa bersejarah.
 
Ah ! Aku tahu, aku belum menceritakan padamu peristiwa bersejarah itu. Sial ! Aku memang tak pernah bisa menyampaikan pikiranku secara rapi dan saintifik seperti yang diharapkan revolusi kami dengan dialektikanya. Tapi baiklah, akan kumulai.
 
Kau tentu paham, untuk mengalahkan imperialisme internasional dan antek-anteknya, kami harus punya pola pembangunan yang berdikari dan sentralistik (aku mempelajari istilah-istilah ini penuh penghayatan, karena untuk menjadi anggota Partai, kami akan mendapat pertanyaan ini itu demi memastikan kami betul-betul komunis dan khatam Marxisme-Leninisme). Saat ini, untuk menerapkan pembangunan otonomik—maksudku sentralistik—kami harus menumpas kaum borjuis demokratis—maaf, maksudku borjuis birokratis (maaf, dalam waktu sangat singkat, aku belajar terlalu banyak istilah sampai semuanya campur-aduk di kepalaku). Oleh karena itulah, diperlukan para pekerja pabrik yang kompeten dan benar-benar merah.
 
Dengan segala kerendahan hati, aku percaya bahwa aku adalah seorang yang kompeten, karena bagaimanapun aku telah bekerja selama lebih dari 10 tahun sebagai penjaga pabrik—bahkan meski hanya diupah 15.000 Francs Kongo per bulan. Selama sepuluh tahun itu, tak satu pun kasus pencurian terjadi baik siang maupun malam. Tentu, pernah ada beberapa kasus penggelapan. Pabrik bahkan sempat tutup  setahun karena mantan direktur kami, si borjuis otokritis—maaf, maksudku borjuis birokratis—itu terbukti menggelapkan 2.300.000 francs lebih 70 sen. Uang itu seharusnya akan dipakai untuk membeli mesin baru dan suku cadang pabrik. Tapi mantan direktur itu malah menilepnya untuk membangun villa di tepi pantai.
 
Namun dengan segala pertimbangan, partai pembaharu kami, segera mengambil tindakan. Ia tak lagi menjadi direktur di sini. Ia hanya direktur di salah satu sub-cabang di kota lain. Meski demikian, Partai tidak menyita villa miliknya atas dasar kemanusiaan (ia punya 10 anak yang malang, dan ia keponakan wakil ketua serikat buruh kami).
 
Sebenarnya aku sendiri pernah dihukum penjara satu tahun. Meski begitu, aku mendapat amnesti tepat di hari pelantikan Presiden kami—yang berjasa menata ulang demokrasi sekaligus membebaskan tapol-tapol yang tertangkap saat kudeta terakhir (itu terjadi jauh hari sebelum takdir yang mulia membawa pemimpin kami naik tampuk kekuasaan). Lagipula, aku juga sudah mengganti 3 kaleng sarden—salah satunya sudah basi—, yang dulu aku “pinjam” karena tak ada makanan apa pun di rumah untuk anak-anakku.
 
Ah, sepertinya aku mulai melantur. Intinya begini, sudah terbukti selama 10 tahun aku menjaga pabrik, tak satu pun pencurian terjadi di pabrik kami. Bagiku, itu cukup jelas membuktikan jika aku orang kompeten. Selanjutnya, tinggal soal apakah aku benar-benar merah atau tidak. 
 
Pada mulanya, saat serikat meminta kami menjadi merah, aku tak paham apakah mereka sedang membahas warna baju atau kulit. Kau tahu, aku hanya jebolan kelas satu SD dan aku tak selalu paham istilah-istilah njlimet dunia politik. Meski demikian, setelah cukup berpikir, aku tak lagi menganggap merah sebagai warna kulit. Sebab, dari apa yang kupelajari di kelas malam—yang sering kuikuti demi memperbesar kesempatanku menjadi direktur—hanya ada orang Indian—maksudku Indian Amerika, bukan orang India—yang punya kulit merah. Dan kami tak akan menemukan makhluk sejenis itu di sini.
 
Jadi kupikir begini: tak diragukan lagi, merah yang dimaksud adalah warna baju. Sampai sini, kujelaskan dulu padamu bahwa sebutan orang Indian sebenarnya bermula dari kedunguan seorang eropasentris bernama Christoper Colombus yang berlayar ke Barat mencari India demi meningkatkan surplus kapitalis dan monopoli dagang borjuis birokratis sebelum akhirnya malah kesasar ke Amerika dan suku Indiannya.
 
Jadi sudah jelas, itu pasti tentang warna baju. Sebab bagaimanapun, akan sangat rasis jika warna kulit atau asal suku menjadi prasyarat masuk partai.
 
Maka selama sebulan penuh, aku hanya berpakaian merah. Aku pergi ke pabrik dengan kemeja merah, celana merah, syal merah, hanya sepatuku yang marun karena aku tak bisa menemukan yang merah. Ketika Sekjen Serikat kami, dan anggota Komite Pusat Partai, berkunjung dan mengelilingi pabrik untuk melakukan peninjauan, aku selalu berlagak seolah-olah sedang mengelap ingusku dengan kacu merah menyala supaya ia sadar bahwa semua yang ada padaku adalah merah.
 
Di negara kami, Badan Intelijen Negara, maksudku CIA atau KGB kami, seringkali memakai wanita-wanita bermoral bejat untuk menggali informasi dari orang-orang yang sedang diawasi negara. Dari situlah, setiap kali melihat wanita yang kupikir sedang menjadi mata-mata negara, aku berusaha melakukan apapun supaya bisa tidur dengannya, sembari mencari-cari akal supaya ia bisa melucuti pakaianku di bawah cahaya terang, agar ia melihat sempakku yang bahkan berwarna merah! Oh ya, aku mengibulinya bukan karena aku kurang ajar atau kurang moral. Murni, itu adalah pengorbanan demi revolusi dan segala kemerahannya!
 
Sekali waktu, aku bahkan pernah berhasil mempunyai mata berwarna merah setelah menenggak bergelas-gelas anggur sambil memaparkan mataku pada asap rokok. Segala yang ada padaku adalah merah. Aku bahkan mengecat sepedaku menjadi merah.
 
Sejujurnya, aku tak tahu kenapa mereka begitu mementingkan warna merah. Aku pribadi lebih suka warna hijau yang mengingatkanku pada belantara hutan, atau biru turkis langit, yang meneduhkan tubuh dan pikiran setelah hari-hari yang meletihkan. Namun tentu saja, aku juga menyukai merah menyala bunga flamboyan, yang tiba-tiba mekar di ujung musim kemarau—atau tepatnya awal musim hujan. Namun bunga itu pun cantik karena ia bisa menyalakan warna suram monoton yang menjadi ciri abadi hutan tropis. Dan tentu, ia indah karena hanya muncul sesaat.
 
Akan tetapi, mari kita singkirkan subjongtivitas—maksudku subjektivitas—dan mari menilai segala sesuatu dengan objektif. Saat itu, sangat penting untuk menyukai warna merah. Sebab jika aku terindikasi dengan warna tersebut, ditambah kompetensi pribadiku, aku bisa terpilih menjadi direktur baru pabrik. Kau tentu tahu, gajiku akan naik dari 15.000 menjadi 300.000 francs per bulan! Ah, tapi dengarkan ya, persoalan uang sama sekali tak menarik perhatianku. Aku adalah seorang militan rendah hati, teladan, dan sederhana!
 
Selama sebulan ketika aku merah, atau setidaknya percaya jika aku merah, aku menyadari senyum sembunyi-sembunyi, kedipan mata, dan bisik-bisik macam ejekan tiap kali aku lewat. Juga pertanyaan-pertanyaan ganjil dan tebak-tebakan seperti “Orang-orang apa yang matanya merah dan nangkring di sepeda merah?”, yang tampaknya sengaja mereka lakukan untuk mengolok-olokku!
 
Aku sangat marah sampai wajahku merah ketika menyadari bahwa ternyata menjadi merah tak ada hubungannya sama sekali dengan warna pakaian. Menjadi merah, artinya merah sejak dalam hati. Jadi, sepanjang waktu ketika aku menjadi makhluk imbisil dan goblok itu, mereka memilih diam dan membiarkanku melakukannya! Mereka pasti syirik padaku. Itu pasti! Tapi kukatakan pada mereka, aku akan membeli omongan mereka tepat di hari ketika aku yang merah dan kompeten ini terpilih menjadi Direktur baru.
 
Menjadi merah artinya merah sejak dalam hati. Aku kira ini idiot karena semua orang punya hati merah dan darah kita pun juga merah. Bahkan darah para reaksioner borjuis teokritis, ah, maksudku borjuis otokritis, ah bukan, maksudku borjuis birokratis itu juga merah. (Maaf, sekali lagi maaf, aku kelelahan dan pikiranku kacau balau setelah begadang semalaman).
 
Akhirnya setelah berkali-kali mengamati dan bertanya—Presiden Mao pernah berkata, ia yang tak berani bicara tak akan punya kesempatan bertanya—aku mengerti bahwa menjadi merah berarti menjadi seorang militan, komunis Marxis-Leninis sejati. Tentu kau percaya, aku tak mau posisi Direktur membuatku terlena meski hanya seiprit. Bagiku, naik gaji 15.000 menjadi 300.000 per bulan tak ada artinya. Hidup mewah, wanita cantik, mobil Alfa Romeo atau Triumph dengan dua jok dan kap terbuka seperti milik Kamerad Menteri Propaganda dan Ideologi bukan tujuan utamaku. Jadi, mari perjelas sekarang bahwa aku benar-benar seorang militan yang jujur, sederhana, dan rendah hati. Uang dan kekayaan materil bukan motivasi utamaku.
 
Dengan kerendahan hati seorang militan, kuceritakan pula padamu bahwa dahulu—kau boleh menanyakannya pada kawan-kawan buruhku—aku orang yang berprinsip teguh pada keimanan. Akulah sang pembela agama.
 
Di negeri kami, orang-orang percaya adanya makhluk jahat bernama penyihir. Ia muncul di malam hari dalam wujud burung hantu atau hewan aneh seperti bunglon atau kura-kura, untuk membunuh manusia dengan melahap jiwanya. Untuk melindungi diri dari kekuatan jahat itu, kami memerlukan jimat penangkal seperti gigi macan kumbang, cakar macan tutul, atau rajah-rajah yang diketeng para pedagang Senegal. Mereka bilang, itu adalah tameng.
 
Sekarang, kutegaskan padamu bahwa sejak Partai melarang praktik-praktik okultisme dan fetisisme, aku tak percaya lagi jimat-jimat itu. Aku bahkan menentang konsep Tuhan karena agama adalah wiski, anggur, ganja, candu manusia. Pada awalnya, memang sangat berat untuk tidak percaya Tuhan. Sebab bagaimanapun, Tuhan telah banyak menolongku dalam masa-masa beratku. Tapi aku harus memilih dan sudah kupastikan pilihanku.
 
Sejak itu, aku berlindung pada simbol-simbol Partai dari godaan setan yang terkutuk: di atas kemeja merahku, kupasang lencana bergambar wajah pendiri Partai kami. Di atas slebor depan sepeda merahku, kupampang foto berwarna Sang Pemimpin Besar Revolusi, Presiden kami sekarang. Sementara di slebor belakang, kutempel logo Partai bergambar pacul-arit dan sepasang daun palem warna kuning. Dengan pelindungku sekarang, aku yakin tak ada setan yang berani menggodaku. Jiwaku kini benar-benar bersih, percayalah padaku, uang dan kekayaan materil sama sekali bukan motivasi utamaku.
 
Aku lalu memutuskan untuk mempelajari istilah-istilah Marx-Engels dan mendaftarkan diri ke Partai. Terlepas dari segala kerendahan hatiku, harus kuakui bahwa aku diberkati kecerdasan yang sedikit di atas rata-rata. Sebab, meski hanya jebolan SD, aku mampu menguasai terminologi-terminologi Partai hanya dalam waktu seminggu: setiap hari aku menyimak segala omongan jurnalis di radio dan tivi, sebab di sini, seperti yang pernah dijelaskan Kamerad Menteri Informasi dan Agitasi, jurnalis hadir bukan untuk memberi informasi apalagi menganalisis peristiwa sesuai yang mereka rasakan. Mereka hanya bagian dari proganda negara, atau dengan kata lain: burung beo Partai.
 
Dengan sepenuh hati, kupelajari semua jargon Partai. Aku paham betul slogan-slogan di dinding-dinding kota seperti "Hidup adalah produksi sebesar-besarnya," atau "Atas nama revolusi, sensor adalah bagian perjuangan." Oh ya, biar kuingatkan: yang sebenarnya paling penting bukanlah paham atau tidak kalimat itu, tetapi bagaimana memakai salah satu frasa-siap-pakai tersebut di waktu yang tepat, entah untuk mengingatkan atau bahkan menyumpal mulut lawanmu. Misalnya, katakan begini pada seseorang, "Kamerad, sikap Anda sungguh menghambat revolusi," dan ia akan langsung gemetar membayangkan tentara atau intel melemparnya ke jurang atau sumur.
 
Aku juga mempelajari banyak istilah baru dan percayalah, sungguh tidak gampang memahami apa yang sebenarnya ingin mereka katakan. Sebagai contoh, perlu waktu lama bagiku untuk memahami apa artinya menjadi borjuis birokratis. Pada mulanya, aku mengira bahwa menjadi borjuis birokratis adalah hal bagus. Kami harus menjadi seperti mereka jika mau hidup nyaman. Aku berpikir begitu karena para penyiar radio selalu mengatakan bahwa borjuis birokratis adalah mereka yang sering menyetir mobil mewah, punya setidaknya satu villa, menyimpan banyak uang, dan sebagainya, dan sebagainya. Yang membuatku bingung, semua menteri, pimpinan politik, anggota komite pusat Partai Tunggal pasti punya mobil mewah Full-AC. Anak istri mereka tak pernah tahu rasanya terpanggang matahari saat menunggu bus yang tak jelas jadwalnya demi berangkat ke pasar atau sekolah. Dan lagi, mereka juga sering minum champagne. Mereka lebih suka minuman impor daripada lokal, dan seterusnya, dan seterusnya.
 
Jadi, aku mengira semua pemimpin revolusioner kami adalah borjuis birokratis. Dan sebab itulah, aku ingin jadi seperti mereka.
 
Tapi tak berselang lama, mereka menjelaskan bahwa menjadi borjuis birokratis adalah perilaku bejat. Akhirnya, berkat kecerdasanku yang luar biasa, aku bisa memecahkan persoalan njlimet itu dengan mudah. Caranya begini: jika kamu mendapati dua orang yang masing-masing punya mobil mewah, villa megah, makan malam sambil minum champagne, dan sebagainya, dan sebagainya, maka beginilah metode jitu untuk membedakan mereka: ia yang jadi anggota Partai adalah sosok revolusioner. Semua yang mereka miliki hanya basis material untuk meringankan beban dan tanggung jawab mereka. Sementara, ia yang bukan anggota Partai sudah pasti sebaliknya. Ia adalah borjuis birokratis, komprador, lintah darat, maling rakyat!
Seiring berjalannya waktu, semua istilah, jargon, dan slogan yang kupelajari akhirnya menjadi traffic jam. Berdesakan dan macet di kepalaku. Tapi apalah arti kepala puyeng dan kliyengan kalau gajimu naik 285.000 per bulan?
 
Akan tetapi, aku begitu terkejut ketika mendengar nama direktur baru dan yang muncul bukan namaku!  Ia bahkan bukan pekerja sini! Mereka benar-benar telah memilih orang dungu, percayalah! Setelah berbulan-bulan mengumumkan bahwa calon direktur baru adalah pekerja pabrik yang merah dan kompeten, mereka sekonyong-konyong memilih seorang entah-siapa yang mereka sebut proletar hanya karena ia anak petani dan anggota Partai. Tahi babi! Aku pun anak petani! Kami semua anak petani, atau setidaknya buruh tani Afrika!
 
Oh sebentar, jangan kau kira aku cemburu karena tidak terpilih. Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Setelah beberapa saat kecewa, aku bisa memahami kalau Partai punya alasan tersendiri. Orang yang kompeten tidak selalu ia yang paham betul siapa Presidennya, tapi ia yang lahir dari etnis yang sama dengan Presiden. Ia pasti akan lebih kompeten.
 
Jadi, aku sudah membuktikan ketulusanku yang revolusioner dan hatiku yang kalis ini dengan berdiri di lapangan sejak pukul 7.30 untuk menghadiri upacara pelantikan Direktur Baru. Upacara yang baru akan dimulai pukul 9.
 
Ah, sepertinya aku terlalu banyak mendongeng tentang aku sendiri dan lupa bercerita soal upacara ini.
 
Upacara ini sangat bersejarah karena tak hanya melantik direktur baru kami, tetapi juga menunjukkan bahwa revolusi berkait erat dengan kelancaran industrinya. Selain itu, Tuan Presiden, Pimpinan Komite Pusat Partai, Pimpinan Dewan Menteri, Komandan Tertinggi Militer, akan hadir langsung di hadapan segenap kekuatan bangsa.
 
Yang pertama datang saat itu adalah para profesor. Aku tak tahu apakah mereka termasuk borjuis komodor, maksudku borjuis komprador. Yang jelas, mereka memakai toga berwarna biru dan merah anggur. Mereka terlihat seperti ikan asin dijemur. Profesor-profesor itu dulunya orang-orang yang sangat aku kagumi. Tapi kini kekagumanku berkurang sejak melihat mereka dipermalukan aktivis mahasiswa di depan umum (dalam sebuah acara penyambutan mahasiswa). Aktivis mahasiswa itu dalam orasinya menyebut mereka sebagai kelas mapan dengan ide-ide yang sangat borju. Saat itu, tak satupun dari profesor itu berani bereaksi. Aku jadi tahu, para profesor itu tak ada bedanya dengan yang lain. Enggan bersuara. Seperti kami para buruh dan tani, mereka hanya mengulang-ulang slogan itu-itu saja. Seperti kami juga, mereka hanya memikirkan perut sendiri.
 
Ah maaf, sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh menghakimi mereka sebab aku paham, untuk menjadi merah sejati, kami perlu melewati jalan berliku dan harus menjadi seorang tanpa warna dulu.
 
Para profesor itu kering dan gosong, terpanggang teriknya matahari negeri tropis. Tak ada kursi untuk mereka. Memang, hanya ada beberapa kursi di bawah tenda yang disediakan khusus untuk tamu undangan dari kalangan teratas.
 
Para buruh mulai berdatangan dengan bis yang sudah disiapkan pemerintah. Bagaimanapun mereka adalah kekuatan bangsa, para proletar pejuang revolusi. Aku pun segera menihilkan keraguanku sebagai bagian dari kelas pekerja. Selanjutnya, datang pula para perempuan dari gerakan revolusioner, anggota asosiasi pemakaman revolusioner, dan sebagainya, dan sebagainya. Singkatnya, semua pihak yang disebut tonggak kekuatan bangsa berkumpul.
 
Sementara itu, waktu sudah menunjuk pukul 10.15. Upacara seharusnya dimulai pukul 9 tepat. Tapi kau tentu paham, Afrika punya budaya jam karet. Untuk itu, kami tak boleh terburu-buru.
 
Para buruh yang kelelahan mulai merebahkan diri di atas rumput, berteduh di bawah pohon palem atau pisang kipas di sekitar lapangan. Para anggota asosiasi pemakaman berteduh di dalam mobil van hitam mereka. Setiap orang punya cara masing-masing untuk menghindari panas dan membujurkan kaki yang pegal… kecuali para profesor. Mereka khawatir kalau martabat mereka sebagai elit dan intelektual negara anjlok. Mereka tetap berdiri, membiarkan dirinya terpanggang matahari katulistiwa, dengan peluh bercucuran di balik toga tebalnya.
 
Sementara itu, aku mencoba menyempil di bawah tenda tamu undangan, seolah-olah sedang merapikan kursi dan bendera di depannya. Pokoknya, aku bertekad membuat diriku kelihatan berguna.
 
Pukul 10.45, mobil Kamerad Sekjen Partai Tunggal datang dengan iringan sepasang motor kumbang. Percayalah, aku adalah orang pertama yang bertepuk tangan. Sementara orang lain, bahkan direktur baru—yang untuknyalah upacara ini diadakan—baru bertepuk tangan setelah aku melakukannya. Lebih hebatnya lagi, aku berinisiatif menjadi orang pertama yang mendekati mobilnya. Berkat pengalamanku sebagai penjaga pabrik selama 10 tahun dan isi otakku yang khatam soal urusan penjagaan, aku sigap membukakan pintu untuknya. Dan fotografer koran revolusioner Partai—yang hanya mengabarkan berita-berita kebenaran—mengambil foto kami berkali-kali karena mengira aku adalah orang penting.
 
Saat itu, aku bisa dengan mudah menyalami tangan Kamerad Sekjen, tepatnya saat fotografer terus memotret kami. Tapi percayalah pada militan jujur dan rendah hati ini: aku melakukan itu bukan untuk diriku sendiri, tetapi demi revolusi, agar rakyat dapat melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Kamerad Sekjen Partai, meski telah menduduki jabatan yang tinggi, tetap sudi berbaur dengan massa, dengan proletar tak jelas seperti kami.
 
Kamerad Sekjen lalu melangkah ke depan. Semua sudah siap dan kami masih menunggu pemimpin revolusioner kami datang.
 
Sirene menyala. Presiden sudah terlihat. Aba-aba dimulai. Semua bersiap dan bertepuk tangan ketika Presiden menuju tempat duduknya. Sebagai militan yang kompeten dan bermartabat, aku berada di dekat podium karena merasa bertanggung jawab menyiapkan mikrofon—terutama mengatur tinggi rendahnya sesuai posisi pembicara. Panitia upacara sebenarnya sudah menugaskan ini pada tentara atau intelijen, tapi akhirnya aku bisa meyakinkan ketua panitia untuk memberikan tugas itu padaku. Bersama  buruh teladan, senior sekaligus orang dalam ini, semangat dan jiwa upacara pasti akan lebih terasa. Aku berhasil meyakinkannya dengan mudah karena dia orang yang paham soal kerjaan. Ia memang sempat ragu, namun aku segera menyelipkan beberapa ribu francs untuknya. Bukan sebagai sogokan, tapi murni ucapan terima kasih karena sudi memberikan waktunya berdiskusi denganku. Aku sering memperhatikan bahwa di negara revolusioner ini, orang-orang akan lebih rajin bekerja ketika ada sedikit hadiah.
 
Kau bertanya mengapa mengurus mikrofon saja sangat penting bagiku? Ketika mengurus mikrofon, kita bisa menuju podium mendahului pembicara siapapun. Kita maju, menaik-turunkan mikrofon, dan jika perlu mengetesnya.
 
Bayangkan, di depanmu ada Presiden! Bahkan jika kita bisa memposisikan diri dengan tepat, bukan tidak mungkin kita bisa berfoto dengannya. Bisa kau bayangkan, berfoto dengan Yang Mulia Kamerad Presiden! Katakan padaku kalau ada cara lebih baik untuk mencuri perhatiannya! Ini bukan sikap oportunis atau kelakuan anarko-profito-birokrato-situasionisto. Bayangkan kalau kau di posisiku: aku merah, aku kompeten, tak ada alasan lagi untuk mengabaikanku! Tapi bagaimana caranya? Betul. Menjadi militan! Ah, maksudku, jadi tukang mikrofon saja. Itu cara paling tok cer!
 
Lalu sirine kembali berbunyi. Motor-motor kumbang masuk lapangan. Begitu juga dengan rombongan tentara bersenjata lengkap. Dari depan, samping, dan belakang. Tentu kau tahu, Presiden kami sangat dicintai rakyat. Ia selalu bisa merasakan penderitaan rakyat. Ia persis apa yang dikatakan Presiden Mao Zedong: seperti tukang mancing di dalam air, ah bukan, seperti mata kail di dalam ikan, ah bukan, seperti air di dalam ikan, ah pokoknya itulah.
 
Tentara bersenjata? Tentu mereka datang untuk memastikan bahwa tentara bayaran kaum borjuis anarkis, yang bersembunyi di seberang sungai dan di balik hutan itu, tak menyerang pemimpin-pemimpin kami dengan peluru kendali jarak jauh atau bom atom mereka—senjata andalan kaum kapitalis-anarkis. Pengacau bisa datang kapan saja. Seperti suatu hari saat Sekjen Serikat berkunjung ke pabrik kami dan salah satu temanku, yang karena saking antusiasnya, mengangkat tangannya terlalu cepat untuk menyalaminya. Apa yang terjadi? Ia ditembak mati di tempat. Para tentara itu percaya bahwa temanku akan membunuh Pimpinan Serikat.
 
Seharusnya tentara kami yang terhormat bisa memaafkan temanku, karena bagaimanapun di setiap negara juga selalu ada perusuh, bahkan di dalam tubuh tentara atau polisi itu sendiri.  
 
“Presiden datang, presiden datang, hidup Presiden!”.
 
Aku berdiri di dekat mikrofon. Tegak seperti pohon palem terjemur matahari. Dadaku membusung, siap menyambut revolusi! Presiden turun dari mobil marcedes putih enam pintu. Tinggi, besar, berkulit gelap, tampan, berkumis rapi, penuh wibawa, tipikal tentara pretorian.
 
Sang titisan revolusi, Presiden Rakyat, Presiden Republik, Presiden Negara, Presiden Partai, Presiden Komite Pusat, Komandan Militer Tertinggi, Presiden seumur hidup! Abad 20 adalah miliknya! Negara kami mungkin kecil, tapi pemimpin kami sungguh besar! Kita tak bisa membahas Prancis tanpa menyebut Napolen, Uni Soviet tanpa Lenin, Cina tanpa Mao. Begitu pula tak mungkin membahas Afrika tanpa menyebut nama Sang Pemimpin Agung kami!
 
Presiden berada tepat di depanku: lengkap dengan segala tulang-dagingnya. Aku sempat menatap poster raksasa yang memampang sosoknya diarak di tengah pasukan yang sedang memberi hormat padanya. Sementara itu, mata Presiden kami jauh menatap ke depan, mengarah ke bintang merah di cakrawala. Seakan ia siap membawa rakyat menuju masa depan paling gemilang. Oh, air mata haru, penuh emosi, dan revolusioner meleleh di pipiku! Tuan Presiden berjalan penuh wibawa diiringi gemuruh tepuk tangan dan himne penyambutan. Ia menuju kursi sandar merah, meletakkan bokong Leninisnya, lalu menyilangkan kaki. Upacara siap dimulai! Waktu menunjuk pukul 11.30.
 
Sekjen Serikat kami lalu maju ke podium. Aku bersiap untuk menurunkan posisi mikrofon, memutar kepala mikrofon sampai pas, mengeceknya dengan suara “ck..ck” sampai terdengar di seluruh lapangan, lalu mempersilahkan Tuan Sekjen naik.
 
Ia memulai pidatonya dengan seruan melawan tribalisme. Menurutku itu lucu karena baik Tuan Presiden, Sekjen Serikat, maupun Direktur baru pabrik berasal dari daerah dan suku yang sama. Aku bahkan yakin kalau seandainya saja aku berasal dari daerah dan suku yang sama dengan mereka, aku pasti terpilih sebagai direktur dengan gaji 300.000/bulan.
 
Sebenarnya sah-sah saja jika suatu negara didominasi orang-orang dari suku dan daerah yang sama dengan Presidennya. Karena ibarat kebun, beberapa sudut biasanya menghasilkan sayur dan buah yang lebih jempolan dibanding sudut yang lain. Dulu ketika Presiden sebelumnya berasal dari provinsi yang sama denganku, sebagian besar pimpinan politik pun berasal dari suku-ku. Tapi kini keadaan berbalik. Dan itu wajar.
Di Afrika, kau tentu paham, para penguasa akan ditampilkan seperti sosok jenius demi memoles citranya sekaligus suku atau daerah ia berasal.
 
Aku juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang revolusioner cerdas bisa tiba-tiba berubah menjadi reaksioner tolol. Begitu pula sebaliknya. Kejadian macam itu pernah terjadi di detik-detik menjelang kudeta.
 
Ah sepertinya aku sedang meracau. Mari kembali ke upacara.
 
Sekjen Serikat Buruh menutup pidatonya dengan berseru:
 
“Hidup Presiden! Hidup Ketua Komite Pusat! Presiden Seumur Hidup! Seumur hidup! Sampai mati! Sampai mati, Tuan Presiden!”
 
Sadar bahwa suaraku masih mungkin tertangkap mikrofon, aku menyahut Kamerad Sekjen Serikat sekeras-kerasnya:
 
-“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!
 
Dan semua orang, terutama anggota asosiasi pemakaman, mengulangi slogan itu dengan keras:
 
“Seumur hidup! Seumur hidup! Sampai mati, Tuan Presiden!”
 
Aku memperhatikan jika para profesor tidak ikut berteriak. Mereka mungkin cemburu padaku. Seorang jebolan SD dan buruh pabrik rendahan, tapi justru paling kencang meneriakkan slogan. Tapi nampaknya, mereka juga bingung. Seperti tak paham apa yang sedang terjadi.
 
Sebenarnya aku tahu, profesor-profesor itu sangat membenciku yang begitu mencintai negara ini. Buktinya? Suatu hari pabrik mengadakan lomba puisi untuk memperingati hari gugurnya Bapak Bangsa, mantan Presiden kami. Aku menulis dan membacakan puisi itu begitu khidmat. Itu puisi terbaik yang pernah kubuat. Aku bacakan beberapa bagiannya:
 
O kematian abadi
Jatuhlah, agar mati
Kaum kapitalis-imperialis!
Kami divisi 5
Merah dan revolusioner
Siap mendukung seabad penuh
Rencana 3 Tahun
Pembangunan ekonomi sentralistik…
 
Bukankah indah sekali? Citra, alegori, dan rima diksi “abadi” dan “mati” yang bertemu di akhir frasa, tapi dengan makna saling bertentangan? Sayangnya, para profesor yang menjadi juri enggan melihat itu semua. Syair-syairku ditolak. Jadi aku sama sekali tak terkejut jika saat itu mereka tidak mengapresiasi teriakanku.
 
Aku justru kaget ketika kamerad Sekjen melirikku dengan geram. Padahal, aku hanya mengulang slogan yang ia terakkan. Ia tiba-tiba merebut mikrofon dan berteriak sangat keras sampai sound system hampir jebol.
 
“Hidup Presiden! Seumur hidup, Presiden! Seumur hidup, Presiden!”
 
Di situlah aku paham kesalahanku. Aku harus berteriak dua kali lebih keras supaya kesalahanku tadi terlupakan.
 
“Hidup presiden! Sampai mati, Presiden! Abadi, Presiden!”.
 
Akhirnya kamerad Sekjen turun podium. Ia memberiku senyuman yang tegang. Kukira aku selamat. Bagaimanapun, segala hal memang perlu terukur dengan tepat, termasuk semangat revolusi.
 
Lalu tiba giliran Direktur baru berpidato. Ia terus menyanjung revolusi dan Presiden. Ia menekankan para buruh untuk 8 jam bekerja, bukan 8 jam di tempat kerja. Ujarnya, siapa yang tidak bekerja keras tidak layak mendapat upah.
 
Dalam hati kecilku, "Aku juga sepakat denganmu. Aku juga akan menyanjung habis-habisan revolusi jika aku ketiban posisi direktur sepertimu. Tapi aku punya pertanyaan. Apa pendapatmu tentang upah yang sering telat 2 sampai 3 bulan? Apakah para buruh ini tak punya hak untuk segera dibayar? Omong-omong, dengan gajimu yang 300.000 per bulan—belum termasuk kompensasi—kau tentu tak tahu seperti apa rasanya saat upah yang cuma 15.000 itu telat, sementara di rumahmu ada 6 anak! Tentu aku tak ingin berlarut-larut memikirkan soal itu. Aku hanya membayangkan apakah kau bisa berpikir lebih jauh dari seekor anjing tidur, kaum imperialis cacat, atau penganut animisme, kamerad Direktur?
 
Aku jadi ingat perkataan Kamerad Lenin yang mengutip ide saintifik Marx-Engels: Ide-ide sesat lebih baik ditumpas sebelum terlanjur diyakini. Itulah kenapa aku setuju untuk memberangus koran atau surat-surat kabar yang tidak sepemikiran dengan pemerintah. Aku sepenuhnya sepakat dengan Partai saat komisi sensor melarang penulis dan penyair menerbitkan sesuatu tanpa izin.
 
Kamerad Direktur akhirnya menutup pidatonya dengan memekikkan slogan-slogan anti-imperialisme, anti-borjuis akrobatik, dan anti-tembakau yang menurutnya mengancam negara.
 
Lalu tibalah kami pada acara yang paling dinanti.
 
Pemimpin revolusi, pemimpin rakyat, Lenin Afrika, naik podium. Aku mempersiapkan mikrofon, mengaturnya sesuai tinggi Tuan Presiden. Aku cek kembali suara mikrofon. “Ck..Ck”. Suara bergema melalui speaker. Semua siap dan keadaan baik-baik saja. Aku membungkuk untuk mempersilahkannya maju, namun dengan gerakan yang sengaja kulambat-lambatkan. Semoga aku bisa terlihat, setidaknya di satu atau dua foto, yang diambil para jurnalis. Kemudian ketika aku turun podium, bersamaan dengan kaki kananku yang baru saja menapak tanah, terjadi sebuah ledakan.
 
Meski cuma jebolan SD, aku paham budaya modern. Jadi, aku bisa menceritakan dengan detil apa yang terjadi hari itu, bahkan sejelas gerakan lambat dalam teknik sinematografi – orang Inggris menyebutnya flickback..backflik..blackflash, atau apalah. Jadi, begini kronologinya:
 
Begitu ledakan terjadi, semua tentara langsung menjatuhkan diri ke tanah, tiarap. Mereka tidak berusaha melindungi warga sipil yang ketakutan meski mereka berjumlah sepuluh dan bersenjata lengkap. Ketika dibutuhkan untuk mengejar dan menangkap pengebom, kegarangan mereka seketika lenyap. Sungguh tidak benar apa yang mereka ceritakan tentang taktik serangan penetrasi. Saat ledakan terjadi, mereka hanya panik ketakutan.
 
Sementara itu, para profesor juga tak berbuat apapun. Aku melihat salah seorang profesor kimia. Ia yang berkacamata hitam bundar dan berjenggot tebal itu, malah menunduk, menutupi diri dengan toga tebalnya. Ia terjatuh, lalu mencoba berdiri lagi. Jatuh lagi, lalu kehilangan topi dan kacamatanya. Saat akhirnya bisa berdiri lagi, ia langsung mencopot toganya dan berlari seperti pendeta yang mencopot jubah karena takut dikejar setan. Ia takut setengah mati.
 
Lalu, apa yang aku lakukan?
 
Kau tahu, saat aku berusaha menjadi merah, aku mengambil kursus bela diri dan tarung jarak dekat. Saat itu aku punya ambisi menjadi anggota Paspampres. Di hidupku yang singkat ini, aku selalu punya mimpi yang tinggi. Meskipun pada akhirnya, aku hanya menjadi penjaga pabrik pupuk kandang.
 
Jadi saat ledakan terjadi dan kulihat semua orang lari tunggang langgang, darahku langsung bergejolak. Revolusioner! Kulupakan hidupku. Revolusioner! Kulupakan istriku! Revolusioner! Kulupakan enam anakku—3 di antaranya masih balita. Presiden masih di sana, sendirian, ia panik, ragu memilih antara martabatnya sebagai panglima tentara cum kepala negara atau segera tiarap untuk menyelamatkan diri. Ia mungkin ingin seperti Presiden De Gaulle yang tetap berdiri di depan Katedral Notre-Dame saat terjadi demo mahasiswa di Paris—aku menonton adegan itu minggu lalu di Lembaga Kongo-Prancis, karena tak ada film tentang Kamerad Lenin atau Revolusi Rusia).
 
Kuceritakan padamu. Aku melihat mata Tuan Presiden, dan seandainya ada alat ukur ketakutan, maka kuyakin skalanya pasti nol. Zero. Aku berharap ia hidup di zaman ketika orang-orang miskin begitu cemas dan takut pada para politikus yang duduk nyaman di ruang Full-AC, tapi bisa mengirim sniper di pagi buta untuk siapapun yang dituduh makar, tanpa perlu barang bukti. Tapi memang benar, orang-orang terkuat selalu punya alasan untuk bersikap berani. Lagipula, ia punya cukup tentara pelindung di sekelilingnya untuk tidak merasa takut. Tapi hati-hati, jangan salah padam pada omonganku. Kalaupun Tuan Presiden takut, ia bukan takut untuk dirinya sendiri, melainkan untuk revolusi. Karena jika ia mati, siapa yang akan memimpin revolusi kami menuju kemenangan?
 
Presiden masih berdiri di sana. Sendiri. Ia ingin berseru “Pasukan !!!” tapi para tentara itu justru berkerumun menunduk di tanah atau sembunyi di balik kursi. Ia akhirnya berteriak “Lindungi saya !!!” tetapi semua orang yang seharusnya melindunginya justru kocar-kacir ketakutan. Aku satu-satunya orang yang masih ada di situ dan kesadaran revolusionerku menuntutku untuk rela mengorbankan tubuhku demi revolusi: aku mendekat ke arah Tuan Presiden untuk melindunginya.
 
Yang mengejutkan, ia justru mencoba melangkah mundur sambil menarik pelatuk pistolnya. Namun saat ia bergerak, kakinya tersangkut kabel mikrofon dan membuatnya hilang keseimbangan. Saat ia mencoba meraih kain merah penutup podium, kain merah itu justru tertarik dan Presiden kami terpelanting dengan mendaratkan lebih dulu bokongnya yang revolusioner dan merah itu.
 
Yang tak kuduga, podium itu ikut jatuh ke arahku, membuatku terperosok, dan jatuh tepat di atas tubuh Presiden. Betapa intimnya kami saat itu. Tubuh kami bertumpukan: tubuh seorang penjaga pabrik pupuk dengan tubuh sang penjaga revolusi. Berdua, aku membayangkan kami akan menjaga dan membawa negara ini ke puncak kebahagiaannya.
 
Saat itulah para tentara tersadar dan segera berusaha menembakku. Namun mereka urung melakukannya karena takut salah sasaran. Mereka kemudian menarikku dan menggeprekku dengan pantofel, tongkat, popor senjata, dan entah apa.
 
Tulang pelipisku remuk. Aku tak sadarkan diri. Saat mendusin, aku sudah ada di ruang penyiksaan. Mereka menginvestigasiku dengan menyetrumku hingga ujung pelir. Pukul 3 pagi, mereka membawa 15 orang dan menanyakan apakah aku mengenalnya. Sungguh, aku sama sekali tak mengenal mereka, tapi karena fisikku sudah tak punya kekuatan, aku terpaksa mengatakan bahwa mereka adalah bawahanku. 15 orang itu kemudian langsung ditembak setelah sempat dibawa ke radio untuk mengakui kesalahannya. Para investigator itu lalu menggantungku terbalik dengan kaki terikat di atas dan kepala di bawah. Sementara di depanku radio tetap menyala.
 
48 jam kemudian, tim investigasi menemukan fakta bahwa ledakan kemarin terjadi karena letusan ban taksi merk Renault 4. Dan seperti yang disampaikan di radio oleh Komisaris Pemerintah sekaligus Pimpinan Pengadilan Revolusioner Luar Biasa: tak ada korban jiwa.
 
Tapi, siapa yang menyuruh taksi itu melintas di sana berbarengan dengan naiknya Presiden ke podium? Mengapa ledakan itu terjadi tepat saat Presiden siap berpidato? Bagaimana mungkin sebuah paku berkarat, tak bernyawa, tak punya kehendak bebas, bisa tergeletak tepat di bawah ban belakang kiri mobil yang memang sudah aus, kecuali seseorang sengaja menaruhnya di sana?
 
Bukankah jelas bahwa tujuan operasi ledakan ban itu adalah membuat kekacauan dan menjatuhkan Pemimpin revolusioner kami?
 
Bagaimana mungkin tak ada konspirasi, sementara salah satu wanita yang ada di taksi itu bersikeras tak mau mengakui bahwa ia menyembunyikan sesuatu. Padahal, para tentara sudah menelanjangi, menyisir tubuhnya, dan menemukan tahi lalat setebal satu setengah mili di bokong KANAN-nya. (Aku sengaja menekankan kata “kanan”, mengingat para tentara itu berteriak pada si wanita kalau posisi tahi lalat juga menunjukkan posisi politiknya.)
 
Lagipula, mengapa seorang penjaga pabrik tiba-tiba pindah haluan menjadi seorang tukang mikrofon? Mengapa ia datang ke upacara dua jam lebih awal dengan sepeda yang baru dicat biru? (Kamerad, biru adalah warna kanan karena istilah “darah biru” merujuk pada kalangan bangsawan feodal Eropa!) Mengapa pula pagi itu ia menyapa semua orang? (yang salah satunya ia temui di ruang interogasi dan kini sudah ditembak mati). Mengapa ia mengaku sudah mengenalnya selama lebih dari dua puluh tahun? Mengapa pula di antara buku-bukunya, ditemukan buku-buku tentang konstitusi Prancis, konstitusi Amerika, dan koleksi artikel tentang sistem aparteid Afrika Selatan? Apakah ia punya hasrat terpendam untuk menerapkan rezim macam itu di sini? Semua pertanyaan itu terus dan terus berjejalan di kepalaku.
 
Aku tak tahu lagi aku ada dimana. Lejar, lapar, kulit tubuhku dedel duwel setelah semalaman direndam dalam tong berisi air cuka-garam.
 
Aku mohon, Tuan Presiden Komisi Investigasi, katakan apa lagi yang harus kuakui, apa yang ingin kau dengar dariku. Sebutkan lagi nama yang harus kuakui sebagai temanku. Aku bersedia mengatakan apapun, menandatangani dokumen apapun demi pengampunan. Meskipun aku militan yang rendah hati, jujur, dan teladan, tapi aku punya batas. Aku tak sanggup lagi.
 
Judul Asli: La cérémonie
 
Penulis: Emmanuel Boundzéki Dongala
 
Bahasa sumber: Prancis
 
Buku sumber: Kumpulan Cerpen Jazz et Vin de Palme
 
Emmanuel Boundzéki Dongala, lahir 14 Juli 1941, adalah seorang Profesor kimia cum sastrawan Republik Kongo. Cerpen La cérémonie ditulis sebagai kritik keras sekaligus olok-olok terhadap rezim Marxist-Leninist otoritarian yang sempat berkuasa di Kongo sejak 1963-1992. Karya-karya Dongala sempat dilarang beredar di negaranya sendiri. Pada tahun 1997, ia dan keluarganya hampir tewas dalam perang sipil Kongo. Hal ini membuatnya memilih mengasingkan diri ke Amerika Serikat. Berkat bantuan Philip Roth, ia bisa mendapat suaka di negeri Paman Sam, dan menjadi dosen kimia plus sastra Afrika hingga sekarang.
 
Salah satu karya Emmanuel Boundzéki Dongala yang berjudul Photo de groupe au bord du fleuve (2010) meraih penghargaan Prix Ahmadou-Kourouma, yaitu penghargaan sastra bergengsi untuk penulis francophone dari kawasan Afrika hitam. Selain itu, novel lainnya yang berjudul Johnny Chien Méchant (2002), yang bercerita tentang perang sipil Liberia yang melibatkan anak-anak, telah diadaptasi menjadi sebuah film berjudul sama oleh Jean-Stéphane Sauvaire pada tahun 2008.