[TERJEMAHAN] Bintang itu Kakak Perempuanku - Alain Mabanckou

Saat itu usiaku masih 10 tahun. Di tengah musim panas, aku keluar diam-diam dari kamar. Kubuka pelan-pelan pintu menuju teras rumah. Aku tak lagi takut pada hantu atau roh jahat apapun yang keluar di tengah malam untuk menakuti anak-anak.

 

Aku duduk di teras dan mendongakkan kepalaku untuk memandangi langit. Emak bilang kalau kakak perempuanku tinggal di sana bersama para malaikat.

 

Lalu tiba-tiba, muncul satu bintang, bintang yang sangat kecil tapi paling terang di antara yang lain. Aku menatapnya penuh perhatian. Ia bergerak, berkedip, dan tersenyum padaku sebelum bersembunyi di antara dua awan, lalu muncul kembali. Ia membuatku sangat bahagia dan aku membalas senyumnya. Aku tahu, bintang itu kakak perempuanku yang meninggal dua tahun sebelum kelahiranku. Aku memanggilnya: “Mbak Bintang”.

 

Duduk di teras, aku mulai bicara padanya, pada Mbakku. Aku menceritakan banyak hal karena aku khawatir dia tak lagi tahu apa yang terjadi di sekitar sini sejak ia tinggal di atas.

 

Mbak Bintang selalu mendengarkanku dengan saksama. Aku bilang kalau Bapak sudah membeli motor baru dan masih bekerja pada orang kulit putih di hotel Istana Jaya. Ia sering pulang membawa buku-buku yang dibuang oleh orang-orang kulit putih setelah mereka selesai membacanya. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau terakhir kali, Bapak membawakan buku aneh yang membuatku hampir terisak saat membacanya: Pangeran Kecil, buku kecil yang ditulis seorang pilot bernama Antoine de Saint-Exupéry.


Buku yang sudah kubaca lebih dari sepuluh kali ini menceritakan seorang laki-laki yang hilang di tempat yang jauh, sangat jauh dari tempat manapun yang ditinggali manusia. Di sana, tiba-tiba ia bertemu seorang bocah yang menyuruhnya menggambar seekor domba. Aku kasihan pada bocah yang entah datang dari mana itu, yang sepertinya belum pernah melihat domba.

 

Suatu malam, aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku sedang merasa seperti bocah itu. Aku juga ingin seseorang menggambarkanku seekor hewan yang ramah, seperti hewan lucu yang ada di buku Antoine de Saint-Exupéry…

 

Lalu satu minggu berikutnya, di tengah malam seperti biasanya, aku kembali melihat angkasa. Meski malam itu semua bintang sedang beristirahat di kasur awan empuknya, aku melihat Mbak Bintang tetap bersinar terang. Ia berkedip-kedip lalu membolak-balikkan badannya seolah sedang sangat sibuk dan agak gugup. Aku memperhatikannya dengan antusias dan gembira, dan aku segera menyadari kalau ia sedang menggambarkanku seekor domba. Seekor domba yang cantik di atas langit.

 

Aku menjaga rahasia ini. Aku tidak pernah bilang ke Bapak, Emak, apalagi teman-teman satu kelas. Aku ingin bilang ke Mbak Bintang kalau aku sudah sering melihat domba di kampung dan aku ingin agar ia menggambarkanku hewan-hewan baik lainnya. Tapi Mbak Bintang lebih suka menggambar domba Saint-Exupéry. Dan aku tidak ingin menolaknya. Sebab, domba yang ia gambar terlihat seperti hewan paling baik yang pernah ada di dunia.

 

*****


Aku menceritakan banyak hal lain ke Mbak Bintang. Suatu hari, aku bahkan bercerita tentang Paman René yang baru membeli rumah di Kompleks Trisata, dekat kafe Kredit Bablas. Rumah Paman mewah dan kokoh. Halamannya sangat luas dan teman-temannya sering berkunjung karena senang melihat rumahnya yang luar biasa. Aku bilang ke Mbak Bintang kalau aku ingin sekali tinggal bersama Paman René karena rumah kami tidak sekokoh rumahnya. Rumah kami lebih kelihatan seperti gubuk dari papan rapuh dengan atap yang bocor-bocor. Hujan sering membanjiri ruang tengah bahkan sampai masuk kamarku. Dan setiap kali hujan, Bapak dan Emak harus bangun karena takut rumah kami terseret banjir. Aku sering tidur sambil memakai jas hujan. Bapak sering berjanji untuk menambal atap rumah keesokan harinya, tapi ia selalu lupa dan baru ingat setelah hujan datang lagi.

 

“Kan situ udah janji mau benerin genteng!” teriak Emak saat hujan mengguyur.

 

“Iya, besok…”, jawab Bapak.

 

“2 minggu lalu situ juga ngomong gitu!”

 

“Iya, iya besok ah. Janji”

 

Dan Bapak tak pernah memenuhi janjinya. Ia lebih memilih membelikanku jas hujan baru dan sepasang sepatu bot. Air hujan sering jatuh ke badanku, tapi aku sudah terbiasa. Bahkan, saat itulah aku justru merasa lebih ngantuk.

 

Sebenarnya, Paman René juga ingin aku tinggal di rumahnya, tapi Bapak dan Emak menolaknya. Mereka tak mau kesepian di rumah papan tuanya. Aku bisa membayangkan bagaimana misalnya aku tinggal di rumah Paman René. Aku akan bermain dengan sepupu-sepupuku dan aku akan tidur di kamar yang atapnya rapat. Tapi Bapak orang yang sangat memikirkan harga dirinya. Oleh karena itu, ia memintaku berhenti bermimpi untuk tinggal di sana, dan dengan tegas berkata:

 

“Bapak nggak mau kamu tinggal di rumah René. Bapak tahu Bapak miskin dan kamu pingin  banget tinggal di rumah Pamanmu yang banyak duit dan rumahnya gede ! Tapi hidup tuh harus banyak bersyukur sama apa yang kita punya. Tinggal di rumah reyot bukan berarti hati ikutan melarat. Nanti kamu bakal ngerti kalau udah gede…” 


*****  


Setelah satu jam lebih melihat langit, aku mulai merasa mataku berat. Aku mengantuk, tapi cahaya Mbak Bintang membuatku tetap terjaga. Aku baru sadar kalau sudah cukup lama berada di teras. Aku ingin tidur tapi aku tak bisa tidur sebelum bercerita tentang Emak ke Mbak Bintang.

 

Jadi, aku bercerita tentang kelereng yang Emak belikan untuk kado ulang tahunku. Emak memberiku 12 kelereng tapi semuanya hilang. Anak-anak kampung yang lebih tua meminta kelerengku sambil mengancam. Dan aku tak mungkin melawan mereka karena tubuhku kurus kering seperti biting. Emak jengkel dan berjanji akan membawaku ke dukun kampung yang bisa memberiku jimat supaya aku lebih kuat jika kelerengku diminta lagi. Dukun itu bernama Mak Malonga. Kami menyambanginya suatu malam. Ia menyuruhku makan akar pedas dan memberiku gelang dari taring ular berbisa. Saat anak-anak nakal itu melihatku, mereka akan kabur karena tahu bahwa mereka tak akan menang melawan seseorang yang memakai jimat.

 

Sejak hari itulah, aku tak pernah lagi kehilangan kelereng-kelerengku.

 

*****  


Emak sering memikirkan almarhum Mbak. Ia selalu membawa foto Mbak kemanapun ia pergi. Mbak cuma hidup selama satu minggu setelah kelahirannya. Roh jahat di desa kami nampaknya iri akan kecantikannya. Dan karena roh-roh jahat itu mendatangi Mbak setiap malam, mereka akhirnya bisa melempar kutukan jahat pada rumah kami. Oleh karena itulah, leluhur-leluhur kami ingin agar Mbak tinggal di langit bersama para Dewa dan di samping para malaikat untuk melindungi keluarga kami. Sejak kematian Mbak, Bapak dan Emak meninggalkan desa kami di Mouyondzi untuk tinggal di kota Pointe-Noire.

 

Aku lahir dua tahun setelah kemalangan itu. Tapi penyihir jahat dari Mouyondzi tetap menyimpan dendamnya. Mereka bahkan mengirim kutukan jahat ke perut Emak sehingga aku tak bisa lagi punya adik hingga sekarang.

 

***** 

 

Aku tak bisa lagi merahasiakan obrolan tengah malamku dengan Mbak Bintang. Aku ingin menunjukkan ke teman-temanku kalau aku bukan anak tunggal dan aku punya kakak perempuan yang tinggal di antara bintang-bintang. Aku menceritakan ini ke salah satu teman laki-laki di kelasku, namanya Nestor. Dan karena Nestor enggan percaya, aku mengeluh pada Mbak Bintang malam harinya. Aku bilang padanya:

 

“Nestor nakal banget”

 

Lalu Mbak Bintang bertanya:

 

“Kenapa kamu bilang kalau dia nakal?”

 

Dan aku menjawab:

 

“Soalnya dia suka duduk paling belakang buat gangguin murid cewek. Terus dia suka jahilin aku padahal aku nggak ngapa-ngapain”.

 

“Oh.. jadi karena itu kamu bilang dia nakal?”

 

“Dia juga bilang kalau aku miskin dan menyedihkan karena aku nggak punya saudara laki-laki atau perempuan. Padahal aku sudah bilang ke dia kalau aku punya Mbak yang tinggal di langit”

 

“Terus, Nestor jawab apa?”

 

“Dia nggak percaya. Dia bilang kalau ceritaku bodoh dan aku pembohong. Nestor juga bilang kalau Mbak nggak ada, karena suatu malam, dia pergi ke teras dan melihat langit, tapi dia nggak melihat Mbak seperti aku sekarang. Dia bilang cuma ada bintang-bintang biasa, yang bisa dilihat semua orang”

 

“Terus kamu jawab gimana?”

 

“Aku bilang, kalau malam itu Mbak Bintang sedang kelelahan dan tidur sama para malaikat”

 

“Terus apa kata Nestor?”

 

“Dia bilang kalau aku harus berhenti cerita bohong. Kalau nggak, dia bakal menjewerku dan bocorin rahasia ini ke satu sekolah saat istirahat”.

 

“Terus, kamu mau Mbak nunjukkin ke Nestor kalau Mbak memang ada?”

 

“Aku mau Mbak ketemu langsung dengan Nestor, Mbak muncul di langit, dan Mbak bicara seperti Mbak ngobrol sama aku sekarang…”

 

“Baik, besok kamu bilang ke Nestor kalau Mbak akan ada di langit pada Minggu malam. Dia harus mendongak ke langit dan melihat Mbak bergerak. Bilang juga ke dia kalau Mbak mau gambarin domba kecil seperti di bukunya Saint-Exupéry”.

 

Nestor tak percaya padaku saat aku bilang tentang obrolanku semalam dengan Mbak Bintang. Dia tertawa keras dan bilang:

 

“Kamu pasti sudah gila! Kamu nggak punya kakak perempuan. Mbakmu sudah meninggal. Mbakmu sudah lama meninggal!”

 

“Nggak! Dia belum meninggal, aku nggak bohong. Kamu lihat sendiri hari Minggu malam. Lihat langit dan dia akan menggambar domba buatmu, seekor domba seperti di bukunya Saint-Exupéry”.

 

***** 

 

Minggu malam, Nestor keluar dari kamar. Ia menatap langit. Tapi hanya ada gelap. Tak ada satupun bintang. Tapi saat ia semakin mendongakkan kepala, awan-awan mendung mulai menipis dan semakin berjarak. Satu bintang kecil berkedip. Bintang itu sendirian, seolah tak mau diganggu bintang lainnya. Ini saat terbaik untuk membuat Nestor percaya. Bintang itu bergerak dan membolak-balikkan badannya. Dari rumah, aku juga melihatnya.

 

Nestor menatap langit dengan sangat saksama. Dan ia melihat seekor domba yang digambar oleh Mbak Bintang. Domba itu bahkan lebih bagus daripada domba milikku. Ia menggoyang-goyangkan ekor dan telinganyanya. Ia lalu melompat-lompat selama beberapa menit sebelum bersembunyi di balik bulan yang baru saja muncul bersama bintang-bintang lain yang merasa iri dengan Mbakku.

 

Esok harinya di sekolah, Nestor duduk di sebelahku dan berbisik:

 

“Aku lihat Mbakmu semalam… Dia menggambarkanku domba putih”.

 

Aku tersenyum karena mulai sekarang Nestor menjadi sahabat terbaikku.

 

***** 

 

Beberapa hari kemudian, Nestor datang kembali padaku dengan wajah sedih.  Ia mengajakku pergi ke taman.

 

“Ada apa Nestor?”

 

Ia mengusap air matanya sebelum memberitahuku:

 

“Aku juga sedang mencari adik laki-lakiku. Dia meninggal tahun lalu, tapi aku nggak melihat dia di langit sama bintang-bintang. Ini nggak adil !”

 

Aku merangkul bahunya untuk menenangkannya. Aku bilang kepadanya:

 

“Kamu harus sedikit bersabar. Adikmu akan muncul suatu hari. Sekarang dia masih belajar tentang bagaimana hidup di sana. Tapi aku janji, besok aku akan bilang ke Mbak Bintang untuk mencarikan adikmu. Nanti, mereka akan muncul berdua di depan kita”.

 

TAMAT

 

Profil Penulis: Alain Mabanckou adalah penulis asal Kongo-Brazzaville dan menjadi salah satu penulis francophone paling terkenal dan produktif saat ini. Penulis kelahiran 24 Februari 1966 ini dikenal berkat karya-karyanya yang banyak bercerita tentang realitas sosial di Afrika dan pengalaman para diaspora kulit hitam di Prancis dan Amerika. Novelnya Black Bazar (2009) masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2017, sementara novelnya yang lain Mémoires de porc-épic (2006) memenangkan Prix Renaudot 2006 dan masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize 2015. Saat ini, ia menjadi dosen pengajar sastra francophone di University of California, Los Angeles (UCLA).

 

Sumber buku:

 

Judul asli dari cerpen ini adalah Ma Soeur-Étoile yang termuat dalam buku Enfances, Nouvelles recueillies par Alain Mabanckou (2005), terbitan Ndzé. Enfances adalah kumpulan cerpen bertema anak-anak yang ditulis oleh sastrawan-sastrawan francophone asal Afrika. Beberapa penulis besar yang berkontribusi di buku ini di antaranya Alain Mabanckou, Ananda Devi, Raharimana, Sami Tchak, dll.




Bapak, Kafka, dan Metamorfosa


Suatu pagi, Gregor Samsa terbangun dari mimpi buruknya dan mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor serangga raksasa - Franz Kafka


Saya kira, tak banyak kalimat pembuka novel yang bisa sekuat kalimat pembuka novel Metamorfosa di atas. Pembuka yang begitu ganjil. Dan keganjilan itu akan terus berlanjut setiap kita membuka halaman demi halaman novel Kafka. Kata Alexis Nuselovici, dosen saya di Aix-Marseille Université, Metamorfosa adalah satu dari sedikit novel yang terus menimbulkan debat interpretasi di antara kritikus-kritikus sastra. Ujarnya lagi, “Novel ini sangat sulit diinterpretasikan dengan teori-teori. Seringkali, pengalaman pembaca lah yang akan menjadi kompas untuk menemukan makna”.

 

Metamorfosa sendiri berkisah tentang kehidupan keluarga Samsa yang jungkir balik setelah Gregor Samsa—tokoh utama dan anak sulung keluarga itu—bangun tidur dan tiba-tiba berubah menjadi seekor serangga. Ia bukan lagi manusia. Kulitnya mengeras dan menghitam, perutnya menggelembung, berkaki enam, dan dari kepalanya, menjulur sepasang antena. Kafka tak menyebut pasti apakah ia seekor coro, kumbang koksi, atau kumbang tahi. Yang jelas, saya membayangkannya seperti kecoak dengan tubuh sebesar Chris John.

 

Perubahan wujud Gregor sekonyong-konyong membuat kondisi keluarganya tak karuan. Ibunya terlengar saat pertama melihatnya. Gregor ingin mengatakan bahwa ia adalah anaknya, tapi mulutnya tak bisa lagi mengucapkan bahasa manusia.

 

Buntut paling gawat dari peristiwa ini adalah ambruknya ekonomi keluarga Samsa. Sebelumnya, Gregor adalah satu-satunya anggota keluarga yang bekerja. Ia membanting tulang dengan menjadi sales di sebuah perusahaan kain yang dipimpin seorang bos berhati tengik. Ia bekerja dari pagi sampai malam, di tempat yang ia benci, demi memenuhi urusan hidup ayah, Ibu, dan adik perempuannya.

 

Perubahan wujud ini lama-kelamaan membuat keluarganya hilang kesabaran. Terlebih kondisi Gregor makin bertambah aneh. Ia misalnya tak lagi sudi menyentuh makanan segar dan lebih memilih melahap apa-apa yang busuk. Beberapa saat kemudian, lendir dan tahi pun jebrol. Bercelemokan di lantai dan dinding kamarnya.

 

Suatu hari, ayahnya yang memang berwatak batu merasa begitu muak. Katup kesabarannya jebol. Ia merajam Gregor dengan sekeranjang apel. Salah satu apel itu lalu menghantam dan menancap di tubuhnya: membuat sebuah luka yang perlahan menganga, bernanah, dan membusuk.

 

Di dalam kamarnya sendiri, luka itu membuat Gregor tewas dalam sepi dan naas.

 

Banyak orang menganggap Metamorfosa sebagai novel yang terlalu absurd. Cerita seorang yang yang tiba-tiba berubah menjadi coro dianggap mengada-ada. Namun anehnya, Metamorfosa justru menjadi novel yang paling membekas bagi saya. Ia menjadi satu dari sangat sedikit novel yang membuat saya menangis saat menyelesaikannya.

 

Akan tetapi, saat itu saya tak langsung tahu apa yang membuat saya merasa nelangsa. Saya berusaha menggali berbagai kenangan, mengais-ngais apa yang terkubur di alam bawah sadar. Hingga akhirnya saya menyadari bahwa apa yang terjadi pada keluarga Samsa adalah apa yang juga terjadi pada keluarga saya.

 

7 tahun lalu, Bapak didiagnosa menderita PPOK: Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Ini adalah jenis penyakit paru yang tak bisa disembuhkan kecuali hanya memperlambat keparahannya. Saluran pernafasannya infeksi. Parunya radang-membengkak. Kondisi ini membuatnya selalu terseret-seret kala bernafas. Sengal. Sesak.

 

Penyakit Bapak datang dari masa mudanya. Sejak lulus SD, Bapak saya sudah menjalani hidup yang keras dan cukup khayal untuk dipercaya. Ia belajar menjadi montir sejak usia belasan dan berakhir sebagai kenek bus Budiman di sepanjang jalur selatan pulau Jawa. Kala itu, rokok, mabuk-mabukan, hingga pil koplo adalah kesehariannya.

 

Kebiasaan itu menyerang balik masa tuanya. Menginjak usia kepala 6, satu per satu mala bersarang di tubuhnya. Berawal dari paru-paru, Bapak menderita bengkak jantung dan hipertensi. Tiga penyakit ini membuat Bapak jadi pasien rawat jalan sejak 2014. Dua minggu sekali, Bapak harus pergi ke Rumah Sakit untuk menebus obat. Dalam sehari, Bapak harus menenggak belasan pil, dan itu menjadi rutinitasnya selama bertahun-tahun.

 

Penyakit Bapak semakin akut dalam 2 tahun terakhir. Komplikasinya semakin bertambah. Ia menderita asam urat, maag gawat, dan radang ginjal. Mungkin efek obat yang mengendap sekian lama. Perlahan, ia makin sulit makan. Semakin hari, tubuhnya mengurus dan kakinya semakin mengecil. Ia tak mampu lagi menopang tubuhnya.

 

Kondisi ini, di suatu titik, sempat membuat saya berpikir: seandainya Bapak meninggal, keadaan tentu akan menjadi lebih baik. 

 

Saya iba melihat Bapak, tapi kesedihan paling mendalam adalah saat mengingat Ibu. Sejak Bapak sakit, Ibu otomatis menjadi tulang punggung keluarga. Tiap dua hari sekali, Ibu berangkat pasar di kala Subuh. Berdagang hingga siang. Lalu pulang dengan uang yang segera ludes untuk membiayai saya, adik, dan tentu saja Bapak. Hutangnya pada rentenir pasar bahkan pernah menumpuk hingga puluhan juta.

 

Tapi yang paling membuat saya remuk, Ibu hampir tak pernah lagi tidur nyenyak. Terutama dalam setahun terakhir. Tiap dini hari, sekitar pukul 2 atau 3, sakit Bapak selalu kambuh. Dadanya seperti terbakar dan kakinya bak dihujam duri. Ia mengaduh-aduh. Lalu ia akan muntah-muntah sampai perutnya bersih. Dan di sela derita itu, paru-paru Bapak semakin senin-kamis mengikat udara. Di saat bersamaan, rumah kami yang berdiri di atas tanah bengkok, terancam penggusuran. Bapak yang terus memikirkan hal itu, kini bukan cuma merosot kondisi fisik, tapi juga mental.

 

Kami sudah berusaha mengobatinya semampu mungkin. Hampir tiap dua bulan, Bapak nampak sekarat. Dalam keadaan itu, kami selalu merujuknya ke rumah sakit. Bapak tersiksa, Ibu menangis sampai kering, saya dan adik menghabiskan uang berjuta-juta—kami punya BPJS, tapi biaya makan dan sewa kendaraan tak pernah murah. Keadaan ini bertambah runyam tatkala tetangga semakin sering menggunjing kami. 

 

Setiap Bapak mondok di Rumah Sakit, mereka  bilang sudah bosan mendengar kabar Bapak dirawat. Kata mereka, Bapak mungkin punya jimat yang membuatnya susah mati. Beberapa bahkan menganggap penyakit yang tak kunjung sembuh adalah azab.

 

Beban mental yang menumpuk ini, membuat saya makin kerap meminta Tuhan untuk mencabut nyawa Bapak. Saya tak tahu apa ini layak disebut doa. Saya percaya bahwa tak ada doa yang buruk. Sebab, doa yang buruk adalah kutukan. Sedangkan saya tak mungkin mengutuk Bapak. Saya hanya ingin keluarga kami bahagia. Saya terlesah-lesah di antara kutuk dan doa, seperti saya buntu di antara cinta dan benci.

 

Hingga akhirnya Metamorfosa menyadarkan saya. Ia seperti membenam-benamkan kepala saya dalam lubuk air dan mengangkatnya lagi sampai betul-betul tersadar.

 

Saya tahu mengapa saya menangis. Saya menangkap apa yang ingin disampaikan Kafka. Bahwa kecoa raksasa hanyalah metafor dari tiap-tiap takdir buruk yang bisa datang tiba-tiba. Ia bisa berbentuk apapun. Penyakit paru seperti Bapak, stroke, kanker getah bening, durian jatuh di kepala, peluru nyasar, ban truk yang melindas dengkul, atau apapun yang bisa datang 5 detik lagi, dan membuat hidup kita sepenuhnya berubah.

 

Apa yang dialami Gregor sangat mungkin terjadi pada kita. Nasib terburuk tak sampai sejengkal dari jidat manusia. Tapi ada yang lebih mengerikan daripada itu. Metamorfosa menyadarkan saya jika manusia menilai manusia lain hanya berdasarkan nilai ekonomi yang masih melekat padanya. Jika suatu hari manusia berubah menjadi kecoa, maka semua orang—bahkan keluarganya—hanya akan menganggapnya sampah. Bahkan jika ia telah mengorbankan banyak hal dalam hidupnya. 

 

Manusia keji dan saya adalah yang terbusuk di dunia. Saya menilai Bapak seperti Ayah Gregor menilai anaknya.

 

Saya bisa berkilah, bahwa saya tak tega melihatnya terus menderita atau saya hanya ingin Ibu bahagia. Tapi di tapal batas antara hati dan akal saya, ada hitung-hitungan ekonomi yang terus membayangi.

 

Saya menangis sejadi-jadinya. Saya tahu bahwa kemungkinan Bapak sembuh sangat sedikit. Tapi mendoakannya untuk lekas mati adalah hal menjijikkan. Saya baru menyadari bahwa selalu ada pilihan-pilihan lain. Saya bisa berdoa akan turunnya mukjizat. Saya bahkan bisa memilih diam saja. Atau jika saya memang manusia, saya bahkan bisa menerima kondisi Bapak sebagai bagian dari takdir yang harus kami jalani. Atau jika itu pun tak bisa, saya hanya perlu menyadari satu hal: bahwa penderitaan saya tak lebih besar dibanding penderitaan orang-orang seperti Gregor dan Bapak.

 

Di titik ini, kenang-kenangan bersama Bapak tiba-tiba berkelibatan. Saat Bapak memanggul saya menonton konser Joshua, saat Bapak membelikan komik bekas dan majalah Fantasi tiap minggu, saat kami pergi ke Magelang hanya karena saya ingin naik becak, juga ingatan-ingatan yang tak melulu indah terutama pasca ekonomi Bapak kolaps di awal tahun 2.000.

 

Kalau bukan karena Bapak, saya tak akan bisa seperti sekarang.

 

Selepas saya lulus SMP, tabungan Bapak tinggal tersisa angin. Toh, ia tetap mengusahakan agar saya bisa sekolah di Kabupaten. Kala itu, Bapak rela naik bus Wonosobo-Jogja untuk menemui saudara-saudaranya di Casa Grande. Di sana, Bapak memohon-mohon agar mereka membiayai sekolah saya di SMA 2 Wonosobo. Berkat patungan keluarga Bapaklah, saya akhirnya bisa lulus SMA.

 

Pasca SMA, saya mendapat beasiswa untuk kuliah di Sastra Prancis UGM. Saya menjalani kuliah dengan cukup lancar sampai akhirnya lulus setelah 4,5 tahun. Saat saya wisuda sarjana, kondisi Bapak sebenarnya sudah ringkih. Tapi ia tetap memaksakan diri menuju Grha Sabha Pramana meski harus pamit sebelum acara kelar karena hampir pingsan.

 

Pertemuan terakhir saya dengan Bapak terjadi saat saya hendak berangkat ke Prancis. Itu bulan Agustus 2019. Bapak sudah kurus kering dan kesulitan berjalan. Ia meminta adik saya untuk menggendongnya sampai tepi jalan raya, untuk melihat saya menunggu bus sebelum akhirnya berangkat.

 

Sekarang, harapan saya tinggal satu: semoga dua tahun menjelang, Bapak bisa berada di tempat yang sama. Menunggu saya turun dari bus untuk membawakannya ijazah, juga cerita-cerita dari Prancis.

 

Aix-En-Provence, Desember 2019


Note: Bapak meninggal 8 Juli 2021, tepat satu hari setelah saya melakukan sidang tesis. Saya sempat mengabarinya tentang kelulusan dan nilai 19/20 yang saya dapat. Kata terakhir yang Bapak ucapkan pada saya adalah "Alhamdulillah."

Dongala, Le Feu des origines, dan Dekolonisasi Republik Kongo

Elikia M’bokolo dalam bukunya L’Afrique noire: histoire et civilisation—Afrika Hitam dan Peradaban—pernah menulis sebuah kritik terhadap historiografi Afrika yang menurutnya terlalu didominasi oleh nama-nama kaum elit. Sejarah, terutama yang berkaitan dengan kolonialisme, selalu diisi oleh nama-nama indigènes évolués, yaitu para pribumi yang biasanya berasal dari kalangan borjuis dan pernah mengecap pendidikan di Eropa. Dalam penulisan sejarah nasional, kelompok ini seringkali diklasifikasikan sebagai Bapak Bangsa yang bahkan dikultuskan sebagai pahlawan kemerdekaan. Historiografi semacam ini, bagi kita mungkin terasa lumrah. Tapi bagi M’bokolo, kecenderungan ini kerap menenggelamkan peran kelompok-kelompok yang justru paling terdampak, yaitu petani dan pekerja dari kawasan pinggiran, yang justru lebih sering dideskripsikan sebagai objek yang pasif, primitif, irasional, dan tak mampu mengorganisasi diri.[1]

Saat sejarah selalu didominasi oleh epos glorifikasi terhadap tokoh-tokoh elit, sastra dapat memberikan sudut pandang lain. Dalam kajian teori sastra, terdapat sebuah aliran yang disebut new historicism yang percaya bahwa interaksi antara sastra dan sejarah bersifat resiprokal. Artinya jika sejarah dapat mempengaruhi sastra, maka vice versa, sastra juga dapat mempengaruhi sejarah. New historicism hadir untuk mengkritik traditional historicism yang percaya bahwa sejarah adalah teks yang objektif dan universal. Padahal sejarah sebagaimana karya sastra sama-sama mengandung subjektivitas. Keduanya juga tak bisa lepas dari konteks sosial, politik, dan kultural ketika teks-teks itu ditulis.  Lebih jauh lagi, sastra bahkan bisa menawarkan narasi kontra terhadap grands récits atau narasi-narasi dominan yang biasanya disebut dengan sejarah resmi atau official history. Singkatnya, sastra dapat membuat kita mempertanyakan kembali bagaimana proses dan metode sejarah terbentuk[2]


Dalam dunia sastra francophone,[3] kita mengenal salah satu sastrawan yang dalam karya-karyanya kerap menghadirkan kontra-narasi terhadap historiografi negaranya. Ia adalah Emmanuel Boundzéki Dongala, sastrawan kelahiran Republik Kongo, 14 Juli 1941, yang dikenal sebagai “sastrawan yang selalu melawan intoleransi terhadap beragam sudut pandang sejarah”. [4] Dongala adalah salah satu sastrawan Republik Kongo yang paling moncer selain Alain Mabanckou, Henri Lopes, Guy Menga, Sylvain Bemba, Tchicaya U' Tamsi dan Sony Tabou Lansi. Ia pernah meraih dua penghargaan sastra paling bergengsi di Afrika Sub-Sahara,[5] yaitu Grand prix littéraire d'Afrique noire tahun 1988 dan Prix Ahmadou-Kourouma tahun 2011. [6]  Karya-karyanya sudah diterbitkan dalam 12 bahasa. Saya sendiri sudah menerjemahkan dua cerpennya yang berjudul Kereta Hantu dan Upacara

 

Salah satu karyanya Le Feu des origines—Api Asal-usul—adalah novel yang paling kentara dalam menawarkan perspektif lain untuk membaca sejarah Republik Kongo. Secara singkat, novel ini menceritakan kembali sejarah negara tersebut selama era kolonialisme. Latar waktu dalam novel merentang menjelang kedatangan kolonial Prancis pada 1880 hingga Republik Kongo meraih kemerdekaan pada 15 Agustus 1960. Sejarah tersebut dihadirkan melalui kisah hidup Mandala Mankunku, tokoh utama, yang dalam novel ini menjadi saksi episode-episode krusial dalam sejarah kolonialisme di Republik Kongo, seperti proyek kerja paksa pembangunan rel kereta api Congo-Océan, dekolonisasi oleh gerakan kenabian Matsouaniste, hingga campur tangan elit borjuis menjelang kemerdekaan.

 

 

Dekolonisasi dan Peran Lumpenproletariat

 

 

Kembali pada pemikiran Elikia M’bokolo tentang historiografi yang terlalu didominasi kaum elit, Dongala dalam Le Feu des origines justru menghadirkan sejarah Republik Kongo dari sudut pandang seorang jelata. Mandala Mankunku, tokoh utama dalam novel ini, bukan seorang keturunan bangsawan apalagi raja. Ia cuma pemuda miskin dari Lubituku, sebuah desa yang penduduknya masih percaya pada hal magis dan dunia leluhur. Mankunku bahkan menjadi pekerja paksa dalam proyek rel kereta api Congo-Océan pada tahun 1921-1934. Rel kereta sepanjang 512 km ini adalah proyek ambisius yang sama mengerikannya dengan pembangunan Jalan Daendels di Indonesia. Mario Azevedo dari Departemen Studi Afrika Universitas Cambridge, menulis bahwa proyek ini kemungkinan membunuh lebih dari setengah dari total 125.000 pekerja paksa. Mereka mati dalam keadaan kelaparan, malaria, asfiksia, disentri, atau seringkali karena penyiksaan.[7] Sastrawan André Gide dalam bukunya Voyage au Congo menyebut proyek ini sebagai “penindasan yang biadab dan mengerikan” untuk menyebut misalnya praktik mutilasi alat kelamin bagi pekerja yang berani memberontak.[8] Semua episode kebrutalan tersebut, hadir dalam Le Feu des origines. Namun dalam novel ini, Dongala memberi ruang bagi para pekerja paksa untuk bercerita. Misalnya tokoh Djermakoye yang menceritakan pengalamannya dalam kutipan di bawah ini: 

 

« Une fois à Bangui, reprit Djermakoye, nous étions entassés dans d’étroites barges sans toit, sous le soleil et la pluie ; parfois, pendant des heures, il était impossible de bouger un pied. Beaucoup mouraient par asphyxie, tandis que d’autres, fatigués parfois de se cramponner au-dessus de la mêlée où ils pouvaient respirer, lâchaient prise, glissaient et tombaient dans le fleuve... ».[9]

 

 

“Ketika berada di Bangui”, kata Djermakoye, “para pekerja paksa dijejalkan dalam satu tongkang sempit tanpa atap, di bawah matahari dan hujan. Terkadang, kami tidak bisa menggerakkan kaki sama sekali selama berjam-jam. Banyak yang tewas karena sesak napas, sementara yang lain terkadang lelah bergelayut sambil berdesakan sebelum terpeleset dan hanyut di sungai”.

 

Le Feu des origines selanjutnya menjadi kritik terhadap historiografi nasional yang mengaburkan peran kaum jelata dan mendewakan kaum elit. Dalam novel ini, Dongala justru mendeskripsikan dua kelompok tersebut dengan perspektif berbeda, khususnya ketika menceritakan kembali sejarah dekolonisasi. Kita dapat melihat adanya pemikiran Frantz Fanon, seorang filsuf politik asal Martinik, dalam novel tersebut. Fanon dalam bukunya Les Damnés de la terre—Orang-Orang Terhina di Muka Bumi—pernah menyatakan bahwa proses dekolonisasi utamanya bukan didorong oleh elit intelektual, melainkan justru oleh massa dari kelas paling miskin sekaligus paling teropresi. Sebab, meskipun tak punya cukup kualitas intelektual, mereka adalah subjek yang betul-betul merasakan penindasan dan dari situlah mereka mempunyai kekuatan revolusioner untuk melakukan konfrontasi langsung. Fanon meminjam istilah Marx, yaitu lumpenproletariat, untuk menyebut subjek tersebut. Tapi berbeda dengan Marx yang memandang lumpenproletariat dengan nada peyoratif sebagai sebagai kelas yang reaksioner dan mudah disuap oleh kepentingan kapitalis, Fanon justru menganggap mereka sebagai subjek revolusioner. Ia menulis “Dari massa pinggiran kota kumuh inilah, yaitu lumpenproletariat, pemberontakan akan menemukan ujung tombaknya. Lumpenproletariat adalah salah satu kekuatan revolusioner paling spontan dan radikal dari rakyat jajahan”.[10]

 

Dalam Le Feu des origines, Dongala merekam proses dekolonisasi dengan menghadirkan secara dominan peran subjek tersebut. Dalam konteks novel, lumpenproletariat merujuk pada para petani miskin, pengangguran, dan bekas pekerja paksa—termasuk Mandala Mankunku—yang tergabung dalam sebuah gerakan bernama MoutsoumpisteMoutsoumpiste sendiri sebenarnya adalah alusi dari Matsoaunisme, sebuah gerakan prophétisme—atau kenabian—di Kongo yang sepanjang tahun 1942 sampai 1959 melakukan resistensi kolonial paling keras pada kolonial Prancis. Mengapa disebut gerakan kenabian? Sebab, para pengikutnya percaya bahwa suatu hari akan datang seorang juru selamat bernama André Grénard-Matsoua yang akan melibas kolonial Prancis. André-Grénard Matsoua sendiri adalah pribumi antikolonial yang sepanjang hidupnya lantang menyuarakan kesetaraan antara orang kulit hitam dan kulit putih sekaligus menolak keras program wajib militer di koloni-koloni Prancis. Matsoua ditangkap pada 1942 dan gugur dalam kondisi mengenaskan di dalam penjara. Akan tetapi, kematiannya justru memicu berdirinya Matsoaunisme, sebuah gerakan yang paling tangguh sekaligus konsisten dalam memerangi Prancis. [11]

 

Adapun dalam novel, Moutsoumpiste digambarkan sebagai gerakan tanpa pemimpin. Mereka hanya percaya pada Moutsoumpa, tokoh yang kehadirannya antara ada dan tiada. Ia tak pernah benar-benar nampak, tapi rakyat Kongo percaya bahwa ia punya kekuatan sebesar gajah dan pernah menggulingkan kereta api sekaligus membakar pos-pos pertahanan penjajah. Bagi rakyat Kongo, “nama Moutsompa menjadi sinonim dari perlawanan terhadap asing [...] Ia sosok yang membuat penjajah gemetaran dan ia menjadi pahlawan kisah rakyat, pahlawan legendaris”. [12]

 

Gerakan Moutsoumpiste juga tidak digambarkan sebagai gerakan lemah tanpa rencana. Sebaliknya, ia justru mampu mengorganisir perang gerilya, demo besar-besaran, mogok makan, bahkan membuat petisi menuntut kemerdekaan. Artinya, Le Feu des origines tidak menghadirkan massa rakyat sebagai objek yang pasif, tetapi justru subjek yang mampu mengorganisir diri dan memiliki kesadaran politik yang kuat.

 

Dongala dalam salah satu wawancaranya bersama Jeune Afrique pernah mengatakan “Saya tetap bersama mereka yang teropresi, bahkan jika saya dianggap berlebihan”. [13] Kata-kata tersebut sebenarnya merupakan manifestasi dari visi kepenulisannya. Bagi Dongala, seni menulis adalah sebuah usaha untuk “mengambil sesuatu yang tergeletak di sudut dan meletakannya di tempat yang nampak”. [14] Oleh karena itulah, dalam karya-karyanya, ia selalu menghadirkan subjek-subjek yang selama ini direpresi atau sengaja dilupakan oleh sejarah. Episode tentang gerakan Moutsoumpistedalam novel, sebenarnya adalah upaya Dongala untuk menempatkan kembali peran krusial gerakan Matsouanisme selama dekolonisasi. Hal ini tidak bisa lepas dari konteks sosial Republik Kongo pasca merdeka yang menempatkan nama Matsouanisme dalam bingkai peyoratif sebagai kelompok pemberontak. Hingga hari ini, Matsouanisme sebenarnya masih eksis sebagai sebuah komunitas religius. Akan tetapi, para penganutnya terus diasingkan dan kerap dianggap gila. Meike J. de Goede dalam tulisannya Legacies of political resistance in Congo-Brazzaville menjelaskan bahwa penyingkiran ini berawal dari stigmatisasi negatif terhadap Matsoaunisme yang dibentuk oleh kolonial Prancis. Pada masa menjelang kemerdekaan, Matsouanisme diidentikkan sebagai gerakan pemberontak, pengganggu ketertiban umum, irasional, dan separatis. Stigma ini sayangnya terus dilanggengkan oleh rezim Presiden pertama, Fulbert Youlou, yang memang memiliki kedekatan dengan Prancis. [15]

 

 

Elit Intelektual Menjelang Kemerdekaan: Awal Mula Françafrique

 

 

          Lalu, bagaimana Le Feu des origines memotret peran elit intelektual selama dekolonisasi?

 

Dalam novel iniDongala menghadirkan satu episode mengenai pertemuan antara elit intelektual pribumi dengan elit kolonial menjelang kemerdekaan. Pertemuan tersebut sebenarnya merujuk pada pertemuan antara Fulbert Youlou dengan kolonial Prancis. Yang menarik, kelompok intelektual ini tidak dideskripsikan sebagai Para Bapak Bangsa yang nyaris tanpa cela. Mereka justru hadir sebagai kelompok yang bersama elit kolonial, turut menolak protes para petani yang tanahnya dipaksa menjadi perkebunan karet. Episode ini, lagi-lagi menunjukkan adanya pemikiran Frantz Fanon dalam Les Damnés de la terre. Dalam buku tersebut, Fanon membahas peran elit intelektual menjelang kemerdekaan negara-negara Afrika, yang baginya justru kontra-revolusioner. Menurut Fanon, di saat perlawanan di akar rumput tengah membara, para elit intelektual justru sibuk berdiskusi tentang politik asimilasi. Sementara itu, mereka abai bahwa hal paling esensial bagi rakyat miskin adalah harga diri dan tanah. [16] Dalam sejarah resmi, proses ini kerap disebut “musyawarah yang beradab” atau “perlawanan lewat jalur diplomasi”. Namun pada kenyataannya, proses ini lebih sering berujung pada dua hal: kemerdekaan semu yang menjadi awal rezim neokolonialisme dan pergantian kelas dominan dari penjajah kulit putih menjadi borjuis kulit hitam yang sebenarnya sama-sama memperkuda rakyat.

 

Periode dekolonisasi seharusnya menjadi pemutusan radikal terhadap kultur penjajahan. Akan tetapi, hal tersebut tidak terjadi di sebagian besar eks koloni Prancis. Perselingkuhan antara elit kolonial dan elit pribumi menjadi awal dari neokolonialisme. Artinya, meskipun Prancis telah memberikan kemerdekaan, tetapi ia masih mempertahankan kendali yang besar pada bekas jajahannya. Ekonom Prancis, François-Xavier Verschave, menyebut fenomena ini sebagai Francafrique, yaitu strategi Prancis untuk tetap menguasai bekas jajahannya di Afrika Sub-Sahara dengan cara memberi mereka kemerdekaan, menempatkan diktator-diktator lokal sebagai presiden baru, menerapkan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional, lalu menyusun rencana militer dan ekonomi untuk mengusai minyak, uranium, dan segala rupa hasil bumi.[17] Jika dalam Les Damnés de la terre, Fanon memberi contoh fenomena tersebut di Gabon, maka Emmanuel Dongala dalam Le Feu des origines menarasikan ulang bagaimana proses ini terjadi di Republik Kongo.

 

Indonesia cukup beruntung karena tidak mengalami fenomena seperti FrançafriqueNetherlanesia tidak ada karena kita berani menyatakan kemerdekaan sendiri sekaligus memutus relasi seradikal mungkin dengan penjajah. Berkaca dari hal itu, kita patut untuk berbangga. Ya setidaknya, sampai kita digempur CIA sampai terjun ke jurang paling dalam pada 1965.

 

 

Referensi:

 

AZEVEDO, Mario, 1981, The Human Price of Development: The Brazzaville Railroad and the Sara of Chad, African Studies Review , Vol. 24, No. 1, Cambridge University Press

DONGALA, Emmanuel Boundzéki, 2018, Le Feu des origines, Albin Michel

FANON, Frantz, 2002, Les damnés de la terre, Paris : La découverte

GALLAGHER, Catherine, et GREENBLATT, Stephen, 2001, Practicing New Historicism, University of Chicago Press

GHALEM, Nadia, NDIAYE, Christian, SATYRE, Joubert, SEMUJANGA, Josias, 2004, Introduction aux littératures francophones, Presses de l’Université́ de Montréal, Montréal

GIDE, André, 1927, Voyage au Congo, éd. Gallimard

GOEDE, Meike J. de, 2019, Legacies of political resistance in Congo-Brazzaville dalamw Biographies of Radicalization: Hidden Messages of Social Change, Berlin, De Gruyter Oldenborg

M'BOKOLO, Elikia, 2002, Afrique noire, histoire et civilisation tome II, éd. Hatier

MOUKOKO, 1999, Dictionnaire générale du Congo-Brazzaville, éd. Harmattan

THOMAS, Dominic, 2002, Nation-Building, Propaganda, and Literature in Francophone Africa, Indiana University Press, pg. 166

 

Situs online

URL :https://www.jeuneafrique.com/152063/politique/emmanuel-dongala-redoute-un-printemps-africain-pour-les-r-volutions-arabes/ diakses pada 21 Maret 2020



[1]. Elikia M’bokolo adalah sejarawan besar asal Republik Demokratik Kongo yang dikenal sebagai ahli kajian politik Benua Afrika. Baca : Elikia M’bokolo, 2002, Afrique noire, histoire et civilisation tome II, éd. Hatier, p. 421-422

[2] Baca: Catherine Gallagher dan Stephen Greenblatt, 2001, Practicing New Historicism, University of Chicago Press, pg. 52 dan Stephen Greenblatt, 1980, Renaissance Self Fashioning, Chicago: University of Chicago

[3] Sastra francophone secara umum dipahami sebagai sastra berbahasa Prancis yang ditulis oleh orang-orang dari luar Prancis. Baca: Christine Ndiaye, Josias Semujanga, Joubert Satyre, Nadia Ghalem, 2004, Introduction aux littératures francophones, Presses de l’Université́ de Montréal, Montréal

[4] Dominic Thomas, (2002), Nation-Building, Propaganda, and Literature in Francophone Africa, Indiana University Press, pg. 166

[5] Afrika Sub-Sahara merujuk pada negara-negara di Afrika yang tidak termasuk negara-negara di Afrika Utara (Maroko, Libya, Aljazair, Tunisia, Mesir). Biasa juga disebut Afrika Hitam.

[6] Phillipe Moukoko(1999)Dictionnaire génerale du Congo-Brazzaville, éd. Harmattan, p.136

[7] Mario Azevedo, 1981, The human price of development: The Brazzaville Railroad and the Sara of Chad, African Studies Review, Cambridge University Press, p. 14

[8] André Gide, 1927, Voyage au Congo, Gallimard, p. 98-100

[9] Emmanuel Boundzéki Dongala, 2018, Le Feu des origines, Albin Michel, pg. 115

[10] Frantz Fanon, 1995, Les Damnés de la terre, Paris : La découverte, p. 125

[11] Elikia M’bokolo, op.cit. 420-421

[12] Emmanuel Boundzéki Dongala, 2018, op.cit, p. 193-194

[13] Emmanuel Dongala redoute un “printemps africain” pour les révolutions arabes, accédé sur https://www.jeuneafrique.com/152063/politique/emmanuel-dongala-redoute-un-printemps-africain-pour-les-r-volutions-arabes/ diakses 21 Maret 2020

[14] Dominic Thomas, 2002, op.cit, p.150.

[15] Meike J. de Goede, 2019, Legacies of political resistance in Congo-Brazzaville dans Biographies of Radicalization: Hidden Messages of Social Change, Berlin, De Gruyter Oldenborg, p. 231-238

[16] Frantz Fanon, 1955, op.cit, p. 47

[17] Baca: François-Xavier Verschave, 1998, La Françafrique, le plus long scandale de la République, Paris: Stock




 

Chagos: Yang Terbungkam, Lalu Melawan

Pasca pembunuhan Qassem Soleimani dan serangan balasan Iran ke kamp militer Amerika Serikat di Baghdad, satu kemungkinan besar yang bisa membuat Perang Dunia III benar-benar terjadi adalah serangan balik Amerika Serikat ke 52 situs budaya Iran1)

Serangan itu memang belum terjadi. Ia baru keluar dari congor Donald Trump sebagai ancaman jika Iran tetap mengarahkan rudal-rudalnya ke kamp militer AS di Timur Tengah—Afghanistan, Kuwait, Qatar, UEA, Iran, Turki, dan Yordania. Namun yang jelas, gertakan itu Trump ungkapkan penuh percaya diri. Seolah tinggal butuh pencet tombol saja untuk melakukannya.

Yang menjadi pertanyaan, senjata rahasia apa yang AS miliki sehingga Trump masih begitu jumawa menggertak Iran?

Salah satu jawabannya adalah Pulau Diego Garcia, sebuah pangkalan militer AS yang terletak di tengah Samudra Hindia.

Pangkalan ini menjadi sangat penting. Sebab, selain menyimpan senjata-senjata mahacanggih, lokasinya juga tak tak terjangkau oleh misil-misil Iran. Artinya, jika perang harus terjadi, Diego Garcia telah memiliki amunisi lengkap untuk menggempur Iran. Sedangkan Iran, sebaliknya, tak punya teknologi yang cukup untuk melakukan serangan balik.

Diego Garcia adalah tempat disimpannya pesawat-pesawat tempur B-52. Itu adalah jenis pesawat super dengan harga satuan 3 milyar dolar. Ia mampu mengangkut senjata hingga 350 ton, dengan kecepatan terbang 650 km/jam, daya jangkau 8800 mil, dan daya ketinggian 50.000 kaki. Pada periode awal tahun 2.000-an, pesawat inilah yang digunakan untuk membombardir Irak sekaligus Afganistan pasca 9/11 2).

Diego Garcia saat ini menjadi salah satu pangkalan udara paling krusial milik Amerika Serikat. Lokasinya yang berada di antara Afrika, Timur Tengah, sekaligus Asia Tenggara memungkinkannya untuk mengontrol konflik Israel-Palestina, India-Pakistan, bahkan mengintervensi urusan negara lain termasuk Australia dan Indonesia 3)

Namun yang tak banyak orang tahu, pulau ini tak sekadar menyimpan cerita kedigdayaan negara—yang menjuluki dirinya—super power tersebut. Sebaliknya, ia justru memendam riwayat kelam yang membuat pulau ini dijuluki Island of Shame4).

Dan riwayat ini, adalah cerita tentang kebiadaban Amerika Serikat dan Britania Raya mengusir orang-orang Chagos.

Terbungkam

Kalau bukan karena mata kuliah L’étude du silence/Study of Silent semester lalu, barangkali saya tak akan mengenal nama Diego Garcia apalagi Chagos. Jangankan mengenal, membaca selintas nama tersebut di koran pagi, atau kertas bungkus gorengan, pun belum tentu pernah.

Dalam perkuliahan yang mengajak kami memperdebatkan makna silence itu—silence bisa berarti diam, sunyi, senyap, atau terbungkam—, kami mendapat satu tugas untuk meresensi novel Le silence des chagos karya Shenaz Pathel, sastrawan francophone sekaligus jurnalis asal Mauritius. Pathel sendiri adalah salah satu sastrawan francophone paling berpengaruh di kawasan negara Pesisir Samudra Hindia selain Jean-Marie Gustave Le Clezio (Prancis-Mauritius), Ananda Devi (Mauritius), Rabearivelo (Madagaskar), dan Evariste Pasny (Réunion).

Le silence des chagos merupakan novel sejarah yang bercerita tentang 2000 orang suku Chagos yang pada 1967-1973 diusir paksa dari Pulau Diego Garcia. Pengusiran ini dilakukan oleh kolonial Britania setelah ia sepakat untuk menyewakan pulau ini pada Amerika Serikat untuk dijadikan pangkalan militer selama 50 tahun (1966-2016). 

Suku Chagos sendiri adalah sebutan untuk orang-orang yang menghuni gugusan kepulauan Chagos—gugusan yang terdiri dari 56 pulau kecil dan terletak di tengah Samudra Hindia.

Suku ini pada mulanya adalah sekumpulan budak dari Mozambik dan Madagaskar yang diangkut kolonial Prancis pada 1783 untuk proyek tanam paksa—khususnya untuk memproduksi minyak kelapa. Mereka lalu diperkuda oleh pemerintah kolonial sampai akhirnya bebas ketika sistem perbudakan dihapus pada 18355).

Sedari 1835, para bekas budak ini lalu menjadi penghuni tetap kepulauan Chagos di mana sebagian besar tinggal di Diego Garcia. Suku yang dijuluki Les Chagossiens ini hidup berkecukupan dengan menjual kopra, bertani, beternak, dan menjaring hasil-hasil laut. Ujar Pathel, dalam novelnya, Orang-orang Chagos “selalu menyantap makanan segar dan tak pernah memakan hal yang sama dua hari berturut-turut”6)

Seiring berjalan waktu, mereka juga mampu membentuk budayanya sendiri. Salah satunya adalah bahasa Prancis-Kreol—bahasa yang terbentuk dari campuran bahasa Prancis dan bahasa asli para budak. Bahasa ini terbentuk dari keadaan yang memaksa mereka berkomunikasi meski tumbuh dengan bahasa yang berbeda-beda. Bermodal curi dengar bahasa Prancis dari kaum kolonial sekaligus mencampur-adukkan bahasa-bahasa asal Mozambik dan Madagaskar, lama-kelamaan mereka bisa membentuk bahasanya sendiri dengan struktur linguistik yang sistematis. Dalam Le silence des Chagos, Pathel juga menyisipkan bahasa Prancis-Kreol ini:

Ki to pansé si nou fer séga lakaz sa samdi la? (Phatel, 2018 : 42)

Qu’est-ce que tu penses si nous faisons séga à la plage ce samedi là ? (Phatel, 2018 : 42)

Bagaimana kalau malam minggu ini kita mengadakan sega (musik dan tarian khas Chagos) ? (Phatel, 2018 : 42)

Dalam Le silence des chagos, Pathel merekam fragmen-fragmen kecil yang mengajak kita memahami mengapa pengusiran orang-orang Chagos adalah sebentuk aib dan tindakan sangat memalukan yang pernah dilakukan Amerika Serikat dan Britania.

Fragmen-fragmen itu ia ceritakan melalui kisah hidup tokoh Charlesia, perempuan lokal yang menjadi korban pengusiran tersebut.

Charlesia misalnya menceritakan bagaimana pengusiran ini dilakukan dengan perlahan namun sangat memedihkan. Sejak 3 tahun sebelum pengusiran massal 1971, Britania telah mengisolasi Diego Garcia dengan menghentikan stok daging, susu, sayur, garam, minyak, hingga obat-obatan. Sambil melangsungkan isolasi itu, Britania juga menyebar kabar burung tentang pengusiran orang-orang Chagos. Kabar ini, merambat seperti api melahap tisu. Ia menyambung dari mulut ke mulut dan membuat semua orang diteror khawatir.

Sampai akhirnya pada 1971, Britania memerintahkan tindakan memalukan ini : menangkap 1.500 ekor anjing milik orang-orang Chagos lalu menumpasnya dengan gas beracun. Kata Charlesia, ratusan anak-anak menangis histeris saat melihat peliharaan mereka berubah menjadi bumbungan asap hitam.

Tak beberapa lama setelah pembunuhan anjing-anjing itu, orang-orang Chagos lalu diangkut-paksa menggunakan kapal Nordvaer menuju Mauritius. Perintah itu datang begitu cepat sampai-sampai tak ada detik untuk memilah harta benda kecuali kain yang menempel di badan.

Il fallait partir. Là. Maintenant. Tout de suite. C’était un ordre. Sans discussion. Sans appel. Sans raison. Il fallait partir. (Pathel, 2018 : 87)

Kami harus berangkat. Kesana. Sekarang. Detik ini juga. Ini perintah. Tanpa diskusi. Tanpa banding. Tanpa alasan. Kami harus berangkat. (Pathel, 2018 : 87)

Sesampainya di Mauritius, nasib mereka tak kunjung membaik. Orang-orang Chagos ditelantarkan. Mereka terpaksa mencari gedung-gedung bobrok tak berpenghuni. Di sana, mereka tinggal di bangunan dengan dinding-dinding berjamur, atap yang rembes, tanpa pintu dan jendela, bahkan nihil listrik dan sanitasi.

Singkat kata, orang-orang Chagos hidup di tempat yang lebih pas untuk bunuh diri pelan-pelan, dibanding menata kehidupan.

Novel ini juga menceritakan fragmen lain tragedi Chagos melalui kisah tokoh Désiré. Ia adalah anak yang terlahir di atas kapal ketika orang tuanya tengah diangkut paksa.

Ketika beranjak dewasa, ia terpaksa harus menyembunyikan identitasnya sebagai “îloas” atau “orang pulau”. Sebab jika tidak, ia bakal sulit mendapat kerja bahkan sekadar menjadi kuli.

Berbeda dengan Charlesia yang mewakili generasi terakhir yang lahir di kepulauan Chagos, Désiré mewakili generasi baru yang tak pernah sekalipun melihat tanah moyangnya. Ia adalah generasi yang tersiksa krisis identitas. Di satu sisi, ia tak mengenal Chagos, namun di sisi lain, ia tak diakui sebagai orang Mauritius. Ia adalah orang yang “dicampakkan laut, namun ditolak tanah”7). Krisis identitas ini misalnya bisa kita baca dalam kutipan di bawah ini:

Désiré ne savait plus où il en était. Mauricien ? Il avait toujours vécu ici, mais n’en avait pas la nationalité. Seychellois ? Il n’avait jamais vu ce pays. Britannique ? On voudrait encore moins de lui là-bas ? Chagossien ? Il ne connaissait pas ces iles où il aurait dû le jour. Son lieu de naissance était un bateau, qui avait disparu (Pathel, 2018 : 122)

Désiré tak tahu lagi siapa ia. Orang Mauritius ? Ia selalu hidup di sini, tapi tanpa kewarganegaraan. Orang Seychelle ? Ia bahkan tak pernah melihat negara itu. Britania Raya ? Adakah mereka akan menerimanya walau sedikit ? Orang Chagos ? Ia tak tahu apapun tentang kepulauan itu—tempat seharusnya ia tinggal sekarang. Tempatnya lahir adalah sebuah kapal. Yang kini sudah tak ada lagi (Pathel, 2018 : 122)

Melawan

C’est Maurice, les Anglais, et les Américains qui ont fait de nous de morts-vivants […] Anglais et Américains avaient arrangé leur affaire. Et Maurice n’a rien fait pour nous défendre. Trop contente d’avoir son indépendance (Pathel, 2018 : 136)

Adalah Mauritius, Inggris, dan Amerika yang telah membuat kita menjadi mayat hidup. Inggris dan Amerika merancang bisnisnya. Sementara Mauritius tak berbuat apapun untuk membela kita. Mereka terlalu girang atas kemerdekaannya (Pathel, 2018 : 136)

Darimana ide penulisan novel Les silence des chagos?

Menurut Pathel, penulisan novel ini mulanya terinspirasi dari kisah perlawanan perempuan-perempuan Chagos. Salah satu perlawanan ini terutama digagas Charlesia Alexis. Ia adalah sosok sesungguhnya yang menginspirasi tokoh Charlesia dalam novel.

Kisahnya berangkat pada periode awal 1980. Charlesia, bersama Lisette Talate dan Rita Bancoult, menggagas gerakan pieds-nus atau kaki telanjang. Gerakan ini mengajak para perempuan Chagos untuk berjalan tanpa alas kaki menuju Pelabuhan Port Louis. Di atas aspal panas, mereka lalu melakukan mogok makan sambil menggugat pemerintah Inggris, Amerika Serikat, dan Mauritius yang telah menelantarkan mereka.

Gerakan ini mulanya hanya diikuti perempuan saja. Faktor keamanan menjadi alasan utama. Sebab kita tahu bahwa polisi di seluruh dunia akan berlagak paling berani saat diminta menggilas bapak-bapak melarat. Namun ketika Charlesia akhirnya dibekuk aparat pada 1981, gerakan ini lalu diikuti semua kalangan terlepas dari faktor gender8).

Adapun perlawanan Charlesia tidak datang tiba-tiba. Ia adalah endapan rasa marah, getir, dan sengsara yang disepuh bau kematian. Perlawanannya muncul setelah ia melihat kengerian-kengerian yang membeliak di depan matanya selama lebih dari 10 tahun: Perempuan-perempuan yang terpaksa menjadi pelacur. Bayi-bayi kedinginan yang tidur dalam kardus. 1 ruang kecil berpenghuni 25 orang. Juga 26 orang Chagos yang mati kelaparan dan 9 temannya yang bunuh diri pada 19759).

Dalam film dokumenter Stealing a Nation (2004) karya John Pilger, Charlesia bahkan menyebut satu wabah yang menurutnya hanya diderita orang-orang Chagos. Mereka menyebutnya lasagrin, atau le chagrin, atau sakit nelangsa. Ia adalah penyakit yang timbul dari rindu yang pedih, juga perasaan terhina karena tak bisa pulang ke rumah. Ujar Alexia, itu penyakit mematikan yang bahkan membuatnya sampai menyusui bayi-bayinya dengan “air susu kesedihan”10).

Perlawanan Charlesia di jalanan awalnya nampak membuahkan hasil. Pada tahun 1982, Britania sepakat untuk memberikan kompensasi 6 juta poundsterling pada orang-orang Chagos. Sayangnya, kompensasi itu ternyata muslihat belaka. Bersamaan dengan uang tersebut, mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan berbahasa Inggris yang isinya sama sekali tak mereka pahami. Surat itu, ternyata, berisi pernyataan bahwa Orang-orang Chagos tak akan lagi menuntut Right to go home—hak untuk pulang.

Geram oleh kecurangan tersebut, Charlesia justru membentuk gerakan baru. Pada 1983, ia bersama Lisette Talate dan Olivier Bancoult—putra dari Rita Bancoult—menginisiasi Chagos Refugee Group (CRG), sebuah gerakan yang menuntut terpenuhinya hak pendidikan anak-anak Chagos sekaligus hak untuk pulang11).

Gerakan ini bekerja dengan berbagai manufer baik kultural maupun legal. Di bawah kepemimpinan Olivier Bancoult, CRG menginisiasi berbagai demonstrasi untuk memperluas jangkauan isu yang mereka perjuangkan. Gerakan ini kemudian mendapat dukungan dari banyak tokoh besar seperti Paul Bérenger, Lindsey Collen, Ben Fogle, Benjamin Zephaniah, hingga pemimpin partai buruh Inggris, Jeremy Corbin 12) .

Tapi perjuangan CRG butuh waktu yang panjang. Sangat panjang. CRG baru bisa melakukan gugatan resmi kepengadilan Britania pada tahun 1999. Gugatan itu menuai hasil ketika pada November tahun 2000, Pengadilan Tinggi Britania memutuskan bahwa pengusiran orang-orang Chagos dari Diego Garcia adalah pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kekuasaan. Hasilnya, mereka memenangkan gugatan dan mendapat izin untuk kembali ke Diego Garcia 13) .

Tapi pasca kemenangan tersebut, perjuangan CRG masih jauh panggang dari api. Sebab selanjutnya, mereka justru dipertontonkan dengan bagaimana cara hukum bekerja di seluruh dunia: manipulatif dan sewenang-wenang.

Pada Oktober 2003, Pengadilan Tinggi Britania Raya membatalkan kembali keputusannya. Ujar mereka, proses pemindahan orang-orang Chagos akan memakan biaya hingga 5 juta poundsterling—setara harga transfer Mateja Kezman ke Chelsea di masa itu. Sedangkan pajak rakyat, tak selayaknya dianggarkan ke sana.

Pembatalan ini juga didukung Amerika Serikat yang dengan tegas emoh mengembalikan Diego Garcia. Adapun alasannya, Diego Garcia dianggap berperan penting dalam mencegah terorisme sekaligus menjaga kedamaian di Teluk Arab, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Timur—sebuah pernyataan yang bikin saya ingin menggeprek batok kepala Bush dengan telor burung onta.

Tapi alih-alih menyerah, CRG justru semakin menolak tunduk. Ini akan menjadi riwayat perlawanan panjang yang secara umum bisa kita singkat sebagai berikut: menuntut ulang dan menang kembali di Pengadilan Tinggi Britania pada 2006. Dituntut balik dan kalah tahun 2008 di depan Dewan Bangsawan Britania. Mengajukan tuntutan ke Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia (ECHR) pada 2012 untuk kemudian tumbang. Sampai akhirnya membawa kasus ini ke PBB dan Mahkamah Internasional Den Haag pada 2016 14).

Yang cukup mengejutkan, pada 25 Februari 2019 lalu, CRG memenangkan tuntutannya. Mahkamah internasional Den Haag memutuskan bahwa tragedi pengusiran orang Chagos adalah bentuk pelanggaran HAM berat. Keputusan ini lalu disusul dengan keputusan Majelis Umum PBB pada 22 Mei 2019 yang memberi batas waktu 6 bulan bagi Britania dan Amerika Serikat untuk menarik seluruh armadanya dari Diego Garcia.

Lalu, apa yang terjadi pada November 2019?

Bisa kita tebak. Britania dan Amerika Serikat kembali meludahi keputusan Mahkamah Internasional dan Majelis Umum PBB. Keduanya bahkan menyepakati perpanjangan kontrak hingga 2036 mendatang. Secara singkat, orang-orang Chagos masih belum tahu kapan mereka bisa pulang.

Dan setelah jatuh-bangun itu, apakah perjuangan Chagossiens sia-sia?

Saya kira ini yang penting kita catat: Sebelumnya, orang-orang Chagos adalah contoh paripurna dari apa yang disebut sebagai kaum subaltern 15). Diusir dari rumah dan ditolak di tanah baru, Chagos adalah mereka yang lebih lemah daripada minoritas. Pinggir dari pinggir.

Tak cukup tertindas dan terdominasi, keterbatasan dalam berbahasa bahkan membuat mereka nyaris secara absolut tak bisa bersuara. 

Namun hari ini, sejarah mencatat bahwa mereka mampu membuat gerakan dengan semangat perlawanan yang paling tahan rontok. Dengan jumlah keturunan tak lebih dari 10.000—lebih sedikit dari rata-rata jumlah penonton Slank—mereka mampu memperjuangkan nasib mereka hingga Mahkamah Internasional. Orang-orang Chagos, seolah mampu menjawab pertanyaan Gayatri Spivak bahwa subaltern ternyata bisa berbicara.

Berkaca dari kisah tersebut, saya lantas mengingat betapa sering perjuangan kolektif di Indonesia patah sebelum berkembang. Perjuangan kolektif, seringkali hanya bersifat hangat tahi ayam. Ia muncul sebagai euforia, lalu berakhir dengan politik penokohan. 

Belajar dari orang-orang Chagos, barangkali kita perlu menggarisbawahi hal ini: perjuangan yang didukung sedikit orang namun persisten, akan jauh lebih menuai hasil dibanding perjuangan yang didukung jutaan orang tapi cuma tahan seminggu.

References

1.Dipna Videlia Putsanara, Tirto, diakses dari https://tirto.id/trump-ancam-serang-52-situs-jika-iran-membalas-kematian-soleimani-eqKe pada tanggal 10 Februari 2020 
2. Pathel, Shenaz, (2018), Le silence des Chagos (Catatan Penutup), Paris: Edition d’Olivier, hlm. 147
3.Ibid, Catatan Penutup, hlm.146 
4.Baca: Vine, David, (2011), Island of Shame: The Secret History of The U.S.Military Base on Diego Garcia,Princeton University Press
5.Pathel, Shenaz, Op.cit, Catatan Penutup, hlm. 145 
6.Ibid, hlm.18 
7.Ibid, hlm. 119 
8.Charlesia Alexis, The Times, diakses dari https://www.thetimes.co.uk/article/charlesia-alexis-3902vp9sdlz, pada tanggal  1 Desember 2019 
9.Tonton: Pilger, John, (2004), Stealing a Nation, diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=PjNfXK6QpqY pada tanggal 1 Desember 2019 
10, 12, 13.Ibid 
11.Baca: https://www.chagossupport.org.uk/chagos-timeline- diakses pada 1 Desember 2019 
14.Owen Bowcott dan Julian Borger, The Guardian, diakses dari https://www.theguardian.com/world/2019/may/22/uk-suffers-crushing-defeat-un-vote-chagos-islands pada tanggal 1 Desember 2019 
15.Baca: Spivak, Gayatri, (2010), Can The Subaltern Speak?:Reflections on The History of an Idea, Colombia University Press